Bab 10

1.3K 60 0
                                    

***
Curhatkan semua masalahmu kepada allah, meskipun yang sanggup kau lakukan hanyalah menangis.
***

-♡Shakira Azna Mutiara♡-

********

Kalian bertanya dari manakah Azna mendapatkan uang hingga bisa membeli rumah yang mewah. Iya, mewah untuk ukuran anak yang notabenya masih seorang pelajar. Tentunya belum bisa mendapat pekerjaan di dunia ini.

Jangan salah, kedua orang tua Azna rutin mengirim uang lewat kartu ATM untuk Azna. Biasanya nominal uang yang Azna dapat puluhan juta dalam satu bulan. Bagaimana Azna tidak bisa membeli rumah, jika uang yang diberikan tiap bulannya puluhan juta.

Ketahuilah, Azna memang tercukupi dari segi materi, tapi ia tak pernah merasa bahagia dengan adanya uang yang berjumlah milyaran sekalipun. Andai waktu bisa diputar, Azna lebih memilih tidak lahir kedunia ini atau malah meninggal saat bayi. Untuk apa ia hidup jika hanya menyusahkan orang? Untuk apa ia hidup jika selalu berbuat dosa?

Sial! Sial sekali hari ini. Sudah melihat pertengkaran kedua orang tuanya, gadis itu kembali menangis. Ia merasakan sakit yang luar biasa di kepala, sangat hebat. Bahkan ia rasa sakitnya kian bertambah tiap hari. Kalaupun Tuhan mengambil nyawanya saat ini, Azna siap. Ia siap, daripada harus merasakan sakit.

Banyak orang mengatakan, kalau ingin bahagia, syukuri apa yang kita punya. Berulangkali Azna mencoba bersyukur dengan kehidupan yang ia jalani, tapi seolah tuhan berkata lain. Satu jam yang lalu mungkin ia ceria, bersyukur dalam hati. Namun, satu jam berikutnya selalu saja ada masalah. Azna jadi merasa sedih.

Sakit, sakit sekali. Bukan hanya hati yang tergores, bukan hanya mata yang bengkak. Namun, kepalanya ikut merasakan rasa sakit. Sakit hati,s akit kepala, lengkap sudah penderitaan yang ia lalui akhir-akhir ini.

"Aa ...!" Teriakan Azna melengking di dalam kamar.

Prang ...
Brukk!
Srek ...!

Jam weker pecah, buku yang tersusun rapi kini berantakan di lantai. Kertas berserakan, berterbangan. Kacau, kamar gadis ini tak serapi dan sebersih biasanya, ulahnya sendiri kalau sakit selalu saja melampiaskan ke benda sekitar.

Kamar bagaikan kapal pecah, bantal sobek kapuknya berhamburan. Buku tidak tertata pada tempat yang ada. Jam, kotak pensil, foto, pecah menjadi berkeping-keping. Semua benda di kamar Azna rela diperlakukan tidak sepantasnya oleh sang majikan.

"Sa-kit !" Azna meraung, memegang kepalanya yang berdenyut. Memukul ringan kepala ia pada meja belajar, pelan. Dari sebuah pukulan ringan semakin cepat, bertambah cepat setiap menitnya.

"Allah ...." Ia mengadah, menatap langit-langit kamar yang bernuansa serba putih.

Ia menunduk menangkup wajahnya seraya menjambak rambut yang masih ia tutupi dengan jilbab.

Darah segar mengalir lewat hidung Azna, jatuh tepat di jilbab biru mudanya yang kontras dengan bajunya. Gadis belia itu berlari tunggang langgang, mencari keberadaan tissue yang entah hilang kemana. Seolah lenyap ketika dibutuhkan.

"Akh ..., akh!" Menjerit, meracau, itu yang Azna lakukan sedari tadi. Tak ada niatan ia membawa dirinya ke dokter. Biarkan, ia pasrah. Jika besok namanya sudah bertuliskan di batu nisan, tak apa. Ia sungguh menyerah, benar-benar putus asa.

I'm Fine (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang