Ajeng - 0

398 31 0
                                    

"Kalian mencariku, kan ...?" tanya Ajeng lembut, namun mampu menghasilkan tekanan yang amat mendalam. Kebaya merahnya tampak sedikit bersinar, iris matanya menyala kekuning-kuningan. Lidah bercabangnya tampak beberapa kali terjulur keluar.

Khususnya bagi tiga orang berjubah hitam itu, mata mereka tidak berkedip, keringat dingin mengalir di keempat wajah itu. Mereka bernapas lebih cepat, seakan udara menjadi lebih berat.

"Ka-mu ...!" salah satu pria berpakaian serba hitam menunjuknya dengan telunjuk yang bergetar.

"Aku yang kalian cari," kata Ajeng datar.

Ia menatap harimau putih yang menindihku. "Aku benci kalian semua."

Ke tiga pria berpakaian serba hitam itu saling toleh, menelan ludah. Mereka tampak ketakutan, namun mereka berusaha memyembunyikannya.

Jegleg!

Pintu kamarku tiba tiba tertutup sendiri. Terdengar dari luar, pintu digebrak gebrak berusaha di buka. Tapi pintu itu sudah terkunci rapat.

Suasana lenggang, tanpa suara. Kecuali suara napas yang naik turun lebih cepat. Aroma mawar menyeruak memenuhi kamarku. Angin entah dari mana berhembus pelan di wajahku, saat aku menoleh ...

Degg!

Sesosok pocong berwajah gosong meniup wajahku. Matanya berlubang, dan dari mulutnya yang terbuka tercium bau busuk. Busuk sekali.

**

HUARRR !

Harimau putih itu mengaum kencang, aku melihatnya! Ada sesosok gadis kecil menaiki punggungnya. Rambut gadis itu panjang sekali, panjangnya tiga kali panjang tubuhnya. Rambut panjangnya meliuk liuk melilit leher sang harimau putih. Harimau itu meronta ronta, ia melompat dari tubuhku, jatuh ke lantai. Lilitan rambut milik Ayu tampaknya kuat sekali, gadis kecil itu tertawa cekikikan.

Suara tawanya begitu melengking, membuat gendang telinga terasa sakit.

Harimau itu menggelepar membuat kamarku berguncang, meja belajarku hancur di buatnya. Bapak? Ia mematung di tempatnya.

Ketiga pria berjubah itu melafalkan bacaan bacaan lagi. Tapi dengan cepat, Ajeng menghampiri salah satunya. Dengan sangat cepat, ia menyarangkan keris kecil ke leher salah satu pria berjubah.

Pria itu berteriak kesakitan, meronta mencoba mencabut keris kecil itu. Tapi nihil, keris itu tidak tertarik sedikitpun. Kedua rekannya juga mencoba membantunya tapi percuma. Mereka tampak panik, panik sekali. Tubuh pria itu terjatuh, keris di lehernya berubah menjadi ular kecil. Lalu ular itu bergerak-gerak masuk ke dalam lehernya. Pria itu kejang kejang, darah segar muncrat dari lubang lehernya. Matanya terbelalak, hampir mau keluar. Lalu mulutnya mengeluarkan busa.

Salah satu rekannya mengucapkan bacaan bacaan aneh lagi, lalu meniupkannya ke tangan kanannya.

"Bajingan kau, Ifrit!" Ia mengayunkan tinju ke sosok Ajeng.

Mudah sekali tinju tangan kekar itu ditahan dengan tangan mungil Ajeng. Seakan tinju pria itu tidak bertenaga sama sekali.

Ajeng tersenyum. Lalu ia mendesis seperti ular, lidah kecil panjang menjulur keluar dari sela bibir merah mungilnya.

Pria itu meneguk ludah. Wajahnya pucat pasi. Terlihat sekali dia ketakutan. Dengan suara bergetar ia berkata, "Ampuni, Saya ..."

Lalu pria malang itu hanya bisa diam pasrah, bahkan ketika tiga lembar kain kafan berterbangan lalu membungkus tubuhnya.

Harimau putih itu berhenti bergerak, Ayu juga sudah selesai dengannya. Ia mencabut dua taring kecilnya yang memerah. Tubuh Harimau itu mengecil, dan wujudnya berubah menjadi seorang kakek tua berambut gondrong dan berbadan kurus.

Pocong bermuka gosong itu terus meniupkan napasnya yang busuk ke wajahku, aku tidak tau apa maksudnya. Ia hanya membuat kepalaku yang sakit semakin pusing. Aku benar-benar ingin pingsan, kenapa juga aku masih bisa tersadar?

Seakan, aku diharuskan tetap tersadar untuk melihat semua ini.

Pria yang terkapar dengan leher berlubang sudah diam tidak bergerak. Ular kecil itu sudah keluar dari lubang di lehernya.

Satu pria berjubah lainnya, yang terbungkus kain kafan. Juga sudah diam tanpa satupun gerakan dari tubuhnya.

Pria yang sebelumnya berada di luar kamarku bersama Ibuk, yang sedari tadi menggebrak nggebrak memaksa membuka pintu, sekarang juga diam. Tidak ada lagi suara gebrakan pintu, menyisakan hening yang mencekam.

Jegleg!

Pintu kamarku tiba tiba terbuka. Bersama dengan masuknya pria berjubah hitam itu, ia berjalan lunglai masuk ke kamarku. Ia tampak masih sama seperti sebelumnya, kecuali saat aku melihat wajahnya ....

Kedua bola matanya ... menghilang ....!

####

Ajeng, Sekar Ayu Diajeng Nawangsih.

Ajeng, si gadis berkebaya merah. Saudari kembar yang tidak bisa dipisahkan dariku.

Dia adalah saudariku kembar ku, dia selalu bersama ku. Tapi tidak semua orang bisa melihatnya.

Emosiku adalah emosinya, perasaanku juga adalah perasaannya.

Apa yang aku sukai, dia juga akan menyukainya.

Apa yang aku benci, ia juga membencinya.

Jika aku sakit, dia juga merasakan sakit.

Begitu pula sebaliknya.

The Twins - Two AjengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang