Ajeng 4 - Arif & Melati

231 31 0
                                    


Situasi kini semakin rumit, Gista terkena santet dan yang dituduh sebagai pelakunya adalah aku.

Santet, guna guna, azimat, adalah sihir. Hukum sihir dalam agama islam jelas haram, pelakunya (musyrik) diancam mendapatkan dosa yang amat besar.

Kekuatan sihir didapatkan dengan cara bersekutu atau mengadakan perjanjian dengan jin kafir. Dan perbuatan tersebut tentunya sangat dibenci oleh Allah swt.

"dan sesungguhnya ada beberapa orang laki-laki dari kalangan manusia yang meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari jin, tetapi mereka (jin) menjadikan mereka (manusia) bertambah sesat."
(QS. Al-Jinn 72: Ayat 6)

Dan hari ini aku dituduh melakukan perbuatan keji tersebut.

Tentang Ajeng dan teman temannya, aku memang selalu bersama mereka. Tapi aku tidak pernah memanggil mereka, mereka sudah ada bersamaku sejak aku dilahirkan. Aku tidak pernah mengadakan perjanjian apapun, atau meminta perlindungan apapun dari mereka.

Jika aku boleh memilih, aku akan memilih hidup normal, tanpa bisa berinteraksi dengan mereka. Ajeng selalu bergerak sesuai kehendaknya, dan aku yang selalu harus menanggung akibatnya.

"Ajeng, kenapa kamu diam?" tanya Bu Rini.

Aku harus tenang, sabar ..., sabaar, Ajeeng. Aku harus berusaha tetap tenang, kalau aku tenang Ajeng juga ikut tenang. Tapi tidak mudah mengontrol perasaan dua jiwa sekaligus, terutama emosi Ajeng yang lebih mudah terpancing dari pada aku.

Aku menggeleng lemah. "Demi Allah, bukan saya ...."

"Bukan kamu? Memangnya saya sudah bertanya apa kamu yang melakukan itu?"

"Saya tidak pernah berniat menuduh kamu, Ajeng. Saya tahu kamu anak yang baik. Saya tahu kamu jujur. Tapi ... saya membutuhkan sebuah penjelasan. Dan saya rasa, hanya kamu yang bisa, walaupun sedikit, apapun yang kamu ketahui tolong sampaikan."

Astaghfirullah ...
Aku sudah berprasangka buruk pada Bu Rini. Aku benar benar harus lebih belajar untuk mengendalikan diri. Huuft...

"Maaf, Bu Rini. Tapi, Ajeng benar benar tidak tahu."

Bu Rini tampak kecewa, tapi aku bisa apa. Gista itu terkena santet, dan aku tidak tahu siapa yang mengirimnya. Dan aku lebih tidak tahu lagi, kenapa Gista meneriakkan namaku, seolah olah aku yang melukainya.

Bu Rini kini menatapku dalam diam, aku hanya menunduk tidak berani balas menatapnya.

Satu menit kami masih saling diam menciptakan keheningan, hingga bunyi detik jarum jam terdengar menggema.

Tokk tokk tokk ...

Pintu di ketuk.

"Permisi ..." ujarnya.

Kami langsung menoleh, seorang murid laki laki membuka pelan daun pintu. Diapun masuk lalu tersenyum canggung, mungkin merasa tidak enak telah mengganggu pembicaraan kami.

"Sebelumnya saya minta maaf harus mengganggu ...." ucapnya lembut dan sopan.

"Iya. Ada apa, Arif?" tanya Bu Rini.

Nama siswa itu, Arif. Aku baru pertama kali ini melihatnya. Tatapan matanya begitu lembut, wajahnya tampak menyenangkan ketika dipandang, jika aku melihatnya lebih seksama akan tampak aura keemasan menyelimuti tubuhnya.

"Masya'allah ...," gumamku tanpa sadar.

"Apa!" Dia tampak sedikit terkejut, aku buru buru mengalihkan pandanganku.

Astaghfirullah ... aku terkejut, benar benar terkejut. Bukan karena dia menyadari aku sedari tadi memandanginya, dan kini dia menatapku.

Tapi, bersama dia yang menatapku, ada yang lain ikut menatapku.

The Twins - Two AjengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang