*Author POV
- Gista
Sore itu, Gista pulang di antarkan Mita dan Naumi. Kondisinya yang buruk membuatnya tidak bisa menyetir mobil sendiri. Untuk berjalan saja, Gista sempat beberapa kali terhuyung hampir jatuh jika saja tidak ada Mita dan Naumi bersamanya.
"Beneran, Gist? Nggak mau ke dokter dulu?" tanya Mita tampak khawatir setelah melihat Gista yang wajahnya masih pucat. Naumi juga mengangguk mengiyakan.
Tapi Gista menggeleng lemah. "Nggak ... nggak usah. Gue mau rebahan di kamar aja. Thanks ya berdua udah nganterin gue."
"No problem, Gist. Eh btw ... rumah lo kok sepi gini. Tante Renata belum pulang, Gist?" tanya Naumi, seraya matanya melihat ke segala arah.
Gista kembali menggeleng. "Gak tau ..."
"Bi Wati juga lagi pulkam, gue di rumah sendiri. Tapi no problem, gue udah biasa sendirian."
Renata, mama Gista memang orang yang sibuk. Ia jarang bisa pulang cepat. Sedang papa Gista, dia sudah lama berpisah dengan Reni, dan sudah membina keluarga baru. Hidup di keluarga yang kurang hangat membentuk Gista yang sekarang, papanya memang terus mentransfer uang tiap bulan, tapi tidak pernah berkunjung untuk menengoknya. Mamanya, bekerja sangat giat hingga tidak pernah memberikan belaian kasih sayang pada Gista.
Gista memang hidup berkelimang harta. Tapi bukan itu yang ia inginkan, yang selalu ia dambakan adalah sebuah perhatian. Perhatian dari kedua orangtuanya, yang sampai kapanpun tidak akan pernah bisa ditukar dengan nominal.
Gista merebahkan dirinya di ranjang empuknya. "Astaga ... gue ngantuk banget."
Bukk ... bukk ...
"Eh lo berdua ngapain?" tanya Gista heran, melihat Mita dan Naoumi ikut merebahkan tubuhnya di sampingnya.
"Ya ... siapa tau aja tuan putri nggak berani tidur sendirian."
****
"Eh, Lo tadi kenapa sih, Gist? Bisa tiba tiba pingsan. Kayak abis ngeliat setan aja."
Uhuk ...
Gista terkejut mendengar pertanyaan Mita. Pertanyaan itu membuat pikirannya kembali melayang ke kejadian siang tadi. Gista sampai menggeleng nggeleng kan kepalanya cepat demi mengusir ingatannya.
"Gue emang ngeliat setan ... pocong, Mit ..." jelas Gista dengan nada rendah, ia seperti takut mengeraskan suarannya.
Apa yang berdiri di belakang Ajeng siang tadi, benar benar sesuatu yang tidak akan pernah Gista lupakan seumur hidupnya.
Kain kafan yang sudah lusuh kecoklatan, bau anyir yang menyengat. Lalu ketika melihat wajahnya ... hiii ... busuk menghitam. Ada belatung belatung kecil keluar dari rongga bibirnya.
Tatapan matanya menatap Gista datar, tanpa ekspresi. Lalu mulutnya terbuka perlahan, beberapa belatung kecil, dan ada yang besar terjatuh dari sana. Lalu dengan suara serak yang terputus-putus pocong itu seperti berkata, "Ja-jangggaaan gang-gghu, A-A-Ajeeeeng."
"What?! Serius, Lo?"
"Pocong? po-cong beneran?"
tanya Mita dan Naumi, mereka lalu duduk mendekat ke Gista. Sebenarnya, Gista mengira dua temannya ini tidak akan percaya apa yang ia katakan."Kalian, percaya?" tanya Gista meyakinkan.
Kamar bercat biru itu mendadak lenggang, Mita dan Naumi seksama mendengar cerita Gista, meskipun bulu kuduk mereka terus merinding. Gista menceritakannya sedetail yang dia ingat. Hingga tiba tiba Mita menghentikannya.
"Stop Gist! Tahan dulu."
"Apa sih, Mit!" ketus Naumi, merasa menggangu cerita Gista.
"Ssstt ... diem dulu, Kadal. Gist, yang lo maksud, lo sempet liat pempakan cewek berkebaya merah itu ... bukan cewek yang mukanya mirip si Cupu Ajeng, kan?" tanya Mita, wajahnya tiba tiba tampak cemas.
Gista memegang kepalanya, memaksa otaknya kembali mengingat wajah itu.
"Gue nggak tau pasti sih. Pandangan gue udah mulai kabur pas lihat tuh cewek. Tapi ... kayaknya dia emang mirip sih sama si Ajeng. Kenapa emang, Mit?"
Mita menepuk dahinya yang entah kenapa tiba-tiba sedikit berkeringat. "Astaga ...!"
"Astaga kenapa? Jangan bikin gue takut deh, Mit!" Naumi mencubit kaki Mita, namun Mita tidak membalasnya. Mita justru menundukkan wajahnya.
"Semoga ... semoga gue tadi salah liat! Pliss ... semoga mata gue salah liat tadi," kata Mita dengan nada cemas.
"Jangan becanda deh, Mit. Nggak lucu tau!"
"Gaiss ... doain semoga gue tadi beneran salah lihat."
"Iya lo tadi liat apa! Gak usah muter muter, beneran nggak lucu Mit!" Naumi mulai ikut takut. Gista hanya diam menunggu Mita kembali membuka suara.
Mita menelangkupkan kedua tangannya menutupi wajahnya, lalu dengan suara bergetar dia berkata, " Gue ... gue tadi ngeliat cewek mirip Ajeng berdiri di depan pager rumah Gista!"
"Mukanya mirip banget sama Ajeng ..., dia makek kebaya merah, persis kayak yang Gista ceritain."
"Hiks ... dia ngliatin kita bertiga terus sampai kita masuk rumah dan nutup pintu. Hiks ...."
Seketika wajah Gista kembali memucat, pucat seperti saat Gista melihat penampakan pocong tadi siang. Juga Naumi, ia tampak ketakutan. Mita sudah terisak, ia membenamkan wajahnya diantara dua lututnya.
Tidak ada yang saling berbicara setelah itu, baik Gista, Naumi, maupun Mita. Mereka hanya saling tatap dalam diam, suasana semakin lenggang. Hening, dan sepi, tekanan udara mulai terasa berubah di kamar bercat biru itu.
Apalagi tidak lama setelah itu, listrik di rumah Gista mendadak padam.
Dan dalam gelap mereka tetap saling diam, tidak ada satu katapun yang keluar.
Tidak ada satu gerakan pun yang tercipta.
Suara dan gerakan satu satunya hanya dari napas yang naik turun lebih cepat dan lebih berat.
Mungkin mereka bertiga masing masing sudah memejamkan matanya, tapi mereka tetap bisa merasakan ....
Merasakan sebuah gerakan di kasur ..., seperti ada seseorang yang ikut bergabung duduk bersama mereka bertiga.
*
Gista menelan ludah, meskipun ia sudah tidak bisa melihat apa apa karena gelap tapi Gista memejamkan matanya serapat mungkin.
"Kheeeeeee ...."
Keberuntungan sepertinya sedang tidak berpihak pada Gista dan kedua temannya. Lampu kembali menyala dan itu berarti mereka bertiga di paksa melihat apa yang benar benar mereka harap tidak lihat. Dan mereka bernar benar melihatnya ....
Sesosok pocong tanpa kepala sudah duduk diantara Gista dan Naumi ...
****
Aku duduk sendirian di kamarku, menikmati angin malam yang ku biarkan masuk melalui jendela.Kamarku bukan kamar yang besar, karena di Jakarta ini aku hanya tinggal di rumah kontrakan kecil milik salah seorang kerabatku yang tidak terpakai. Berbeda dengan rumahku yang besar di Jogja, tapi suasana ini sudah cukup bagiku. Aku bisa sedikit menikmati sebuah ketenangan. Meskipun tidak akan pernah bagiku untuk merasakan ketenangan sempurna.
Di samping kiriku ikut duduk di kasur, Ayu, gadis kecil yang menyertaiku bersama Ajeng. Lalu di samping kanan Ayu ada Ajeng, Ajeng juga duduk bersandar di dinding, ia memainkan ujung kebaya merahnya. Sesekali ia tersenyum.
"Kamu lakuin apa ke Gista?" tanyaku pada Ajeng tanpa menatapnya.
"Hanya sedikit teguran, beruntung aku tidak berbuat lebih setelah gadis itu berani meludahiku," jawab Ajeng juga tanpa menoleh.
"Yang Gista ludahi itu aku, bukan kamu!"
"Dimana bedanya? Kita itu satu! "
****
KAMU SEDANG MEMBACA
The Twins - Two Ajeng
HorrorAku mempunyai seorang saudari kembar, namanya sama dengan namaku. Tapi, saudari kembar ku ini yang bisa melihatnya hanya aku. Bahkan ibuk dan bapak tidak bisa melihatnya. Padahal dia tidak pernah jauh dariku, selalu bersamaku. Kami tidak bisa dipis...