Aku duduk diam di kamarku, bersama Ajeng, menikmati pemandangan malam dari balik jendela.
"Bapak enggak ngijinin aku keluar," keluhku.
"Padahal aku mau main sama temen-temen ...."
Aku hanya bisa melambaikan tangan ke luar, mengisyaratkan pada teman temanku bahwa aku tidak bisa ikut bermain.
Dewi, Ayu, Theo, dan yang lainnya sudah di luar.
Mereka sedang bermain kejar kejaran, tampak begitu asyik. Aku sangat ingin ikut keluar, tapi pasti nanti bapak akan memarahiku lagi.
Bapak dan ibuk selalu memarahiku saat aku bermain dengan teman temanku.
"Ajeng, jangan main sama mereka lagi ya," larang ibuk saat aku bermain dengan teman temanku. Lalu ibuk akan menarikku masuk ke dalam rumah. Wajah ibu tampak sedih, aku tidak tau kenapa, memang di mana salahnya.
Saat aku tanya, "kenapa nggak boleh? Kan temen temen Ajeng gak nakal."
Ibuk tampak bingung, ia tidak langsung menjawab."Mereka itu nggak baik buat Ajeng. Pokoknya Ajeng harus janji sama Ibuk, Ajeng jangan main lagi sama mereka!"
"Ajeng nggak mau, kan? Dimarahin sama Bapak lagi?"
Dulu, aku adalah anak yang sangat penurut. Aku selalu menuruti perkataan mereka, saat dilarang aku juga tidak pernah membangkang. Walau sebenarnya aku tidak mengerti, kenapa aku disuruh ini, dilarang itu. Tapi aku menurut saja.
Aku juga anak yang jujur. Jika ditanyai aku selalu menjawab sesuai dengan yang sebenarnya. Aku tidak pernah berbohong.
"Ajeng ..., kamu belum tidur, nak?"
Aku menoleh, lalu hanya membalasnya dengan gelengan kepala. Lalu kembali melanjutkan melihat pemandangan di luar, sekarang mereka main petak umpet. Theo yang jaga, sekarang dia mulai menghitung. Aku hanya bisa tersenyum melihat keseruan mereka.
Tiba tiba ibuk duduk di sebelahku membelai puncak kepalaku dengan lembut lalu memelukku erat. Terasa begitu hangat, sangat menenangkan. Tubuh ibuk bergetar, aku bisa merasakan nya. Lalu mulai terdengar isakan.
"Ibuk kenapa nangis? " tanyaku heran.
"Ibuk sedang bahagia, karena Ajeng mau menuruti perkataan ibuk. Hiks ... hiks ..."
Ibuk melarang ku untuk bermain dengan teman temanku, aku menurut. Meski aku tidak menyukainya, pun aku juga tidak tahu apa salahnya jika bermain dengan mereka.
"Sekarang, Ajeng bobo' ya. Besok pagi kan Ajeng sekolah. "
Sekolah. Jujur, aku tidak menyukainya. Besok pagi adalah hari pertamaku bersekolah di SD Mekar Sari. Usiaku enam tahun, aku tidak melewati masa bersekolah di TK seperti kanak-kanak lainnya. Aku belajar mengenal angka dan huruf di rumah, ibuk yang mengajarkannya.
Pagi itu ....
Langit sedang mendung, aku sudah berdiri tiga langkah dari gerbang sekolah. Sekolah, tempat yang begitu ramai. Murid murid berlarian kesana-kemari, banyak sekali, aku tidak mengira kalau sekolah itu seriuh ini. Jujur, aku kurang menyukainya."Ajeng, dengerin ibuk! " ibuk memegang kedua pundak ku. Menatapku serius.
"Kalau nanti Ajeng lihat sesuatu ... biarin aja. Jangan dibahas, jangan bilang siapa siapa, dan ... jangan bicara sama mereka, bicara dan temenan sama yang penampilannya sama kayak Ajeng. Jangan dekat-dekat sama orang yang penampilanya aneh atau serem. Oke?! "
KAMU SEDANG MEMBACA
The Twins - Two Ajeng
HorrorAku mempunyai seorang saudari kembar, namanya sama dengan namaku. Tapi, saudari kembar ku ini yang bisa melihatnya hanya aku. Bahkan ibuk dan bapak tidak bisa melihatnya. Padahal dia tidak pernah jauh dariku, selalu bersamaku. Kami tidak bisa dipis...