Ajeng 20 - Menahan diri

103 9 0
                                    


"Bapak sama ibuk seneng kalau Ajeng
temenan nya sama Risa, sama Isha,  sama yang lainnya juga ...," tutur Bapak.

Saat itu kami sedang berkumpul di meja makan, ada aku, ibuk, dan bapak. Aku sudah menceritakan pada mereka, tentang Risa, Nia, dan Isha. Seperti dugaan ku, mereka begitu senang saat mendengarnya. Terutama ibuk, kebahagiaan jelas tergambar nyata dalam wajahnya. Bapak? Selesai mendengar ceritaku, reaksi yang ditunjukannya tidak seantusias ibuk.

Bapak juga senang, aku tahu itu tapi ... aku bisa mengetahuinya. Rasa takut, itu masih ada di hati Bapak. Mungkin jika di lisan kan akan terdengar seperti, "aku ora yakin bakalan bertahan sue(lama)."

Atau, "pasti mbesoknya juga bakalan ada kejadian lagi."

Tapi aku juga tidak bisa menyangkalnya, rasa takut, dan cemas itu ... bukan hanya ada pada Bapak. Aku juga merasakannya, aku lebih takut dari bapak. Aku takut, aku benar benar takut.

Aku takut kehilangan teman teman baruku.

Tapi kemudian bapak kembali bertutur, "semuanya akan baik baik saja, selama Ajeng tidak dekat dekat dengan mereka."

"Dan tentunya juga menahan yang mengikutimu untuk tidak berbuat semaunya ...."

Aku menunduk, yang dikatakan bapak memang benar. Semuanya akan baik baik saja selama aku bisa menahan diri, tapi seberapa lama aku bisa bertahan seperti itu?

"Kuncinya cuma satu, tahan diri!"

***

Hari baru pun kembali dimulai, hari itu aku bertekad seperti yang bapak dan ibuk katakan. Aku akan menahan diri, menahan mataku, menahan marah dan kesalku, dan diakhiri dengan menahan Ajeng berbuat sesuatu.

SD Mekar Sari, aku sudah tiba di sana. Aku berjalan lurus saja dari pintu gerbang aku sudah sampai di kelasku.

"AJEENG!" panggilnya semangat.

Aku hanya balas tersenyum, jika aku bisa menahan diri Risa akan tetap berteman dengan ku. Aku langsung saja duduk di kursi ku, karena sedikit ku rasakan ada sesuatu yang aneh. Ada yang hadir, aku bisa merasakan dia ada di sekitar sini. Aku juga bisa merasakan, dia bukan sosok yang baik.

Teman sebangku ku masih seperti hari kemarin. Saat aku duduk disampingnya, ia justru menggeser sedikit kursinya ke arah berlawanan. Terlihat sekali dia tidak menyukaiku.

Pelajaran pertama pun dimulai, tapi di sinilah aku mulai diuji. Awalnya hanya ada bau bauan tidak sedap mulai ku cium.

Pertama aku melihat sekeliling, teman temanku terlihat biasa saja. Artinya hanya aku yang mencium bau tidak sedap ini. Aku harus fokus, pandangan mataku lurus ke arah papan tulis putih yang mulai diisi dengan coretan coretan hitam. Bu Ani sedang menulis beberapa soal penjumlahan, hanya terdiri dari angka angka kecil satu sampai sepuluh.

"Ibu akan tes kalian satu persatu!" ucapnya sambil melirik wajah murid muridnya. Bu Ani menelisik daftar absensi, lalu sebuah nama sepertinya sudah diputuskan.

"Riko Wiji, tiga ditambah tujuh berapa?!"

"ENAM!"

HAAAAAAA HAHAHAHAHAAAA!

Seisi kelas bersorak mendengar jawaban Riko, aku hanya tertawa kecil. Riko dia duduk paling depan. Ia tampak menggaruk kepala belakangnya. Lalu ia mengangkat tangan kanannya, sepertinya dia sudah tahu jawaban benarnya. Taman teman yang tadi menertawakannya sekarang diam, menunggu Riko berbicara.

"ENAM BELAAS!" lantangnya dengan yakin.

HAHAHAHAHA ...! HUUUUUU!!

Semuanya kembali tertawa dan bersorak, bu Ani hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kecil.

The Twins - Two AjengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang