Sebelumnya saya minta maaf ya readers, ada kata-kata kasar di part ini.
Ibram dan Mayang sedang makan siang di sebuah restoran yang menyajikan hidangan aneka seafood. Ibram tak berhenti tersenyum melihat wajah sekretarisnya yang sedang cemberut.
"Udah sih ngambegnya, nggak baik buat kesehatan jantung gue, berdebar terus tiap lihat lo cemberut tapi menggemaskan gitu," Ibram terkekeh. Seolah terhibur sekali, karena hari ini dia ngerjain sekretarisnya itu. "Udah nahan setengah mati ini biar nggak nyubit pipi lo,"
Mayang makin dibuat kesal dengan kata-kata Ibram barusan.
Menu makanan yang mereka pesan sudah mendarat di meja mereka namun yang dilakukan Mayang hanya mengaduk es jeruk dalam gelasnya sedari tadi, dia kehilangan selera makan. Meski Ibram telah memesankan menu favoritnya, cumi asam manis.
"Kenapa Bapak ngerjain saya?" Protesnya pada sang atasan.
"Maaf, nggak niat ngerjain dan nggak bohong juga, kan lo emang calon klien masa depan gue. Yang nantinya akan menjadi ibu dari anak-anak gue,"
"Berhenti bicara ngawur Pak!" Sungguh mayang kesal setengah mati, semalam dia harus mengosongkan jadwal bos brondongnya itu. Mengirim email kepada mereka yang bersangkutan, hingga baru bisa tidur jam setengah dua pagi. Tapi apa? Alasan Ibram mengosongkan jadwal yang katanya ketemu calon klien, ternyata mengajaknya nonton film di bioskop di salah satu mall di ibukota.
Mayang malu, Ibram kini tau satu keburukannya lagi. Dia tak bisa menahan tangis jika film itu ceritanya menyedihkan. Mayang itu melow, dan tangisnya bersuara. Aih, memalukan!
"Lo malu, gue lihat lo nangis kenceng gitu?" Tanya Ibram, dia mondorong piringnya yang telah kosong perlahan menjauh. Lalu melap bibirnya dengan tissu.
"Nggak usah malu, gue terima lo apa adanya, Yang," kata Ibram dengan senyumnya.
"Yang?"
"Nama lo Mayang kan? Wajar dong kalo gue panggil lo Yang?"
"Nanti yang dengar bisa salah paham, Pak,"
"Bodo amat! Gue nggak peduli. Gue baru peduli kalo sampe ada cowok selain gue yang manggil lo Yang juga!" Ibram menyandarkan punggungnya ke sandaran kursinya, lalu melipat kedua tangannya di dadanya.
"Buruan makan, abis itu kita balik ke kantor," titah Ibram.
Baru hendak mengambil sendok di piringnya, ponsel Mayang berbunyi. Nama Andrea terpampang di layar. Mayang pun menscroll panel hijau lalu mengucap salam.
Wajah Mayang seketika panik.
"Tungguin mbak! Share lokasinya Mbak ke sana sekarang!" Mayang mematikan sambungan telfon. Wajah paniknya mengarah pada Ibram. Ibram mengerutkan keningnya. Seolah bertanya ada apa?
"Pak, tolong anterin saya. Andrea dalam masalah!"
***
Ibram mengemudikan kuda besinya bak pembalap, mereka beruntung karena jalanan sedang tidak macet. Sesekali dia melirik Mayang yang sedang cemas, meski Ibram beberapa kali berusaha menenangkannya dengan kata-kata.
Akhirnya mereka berhenti di sebuah bangunan tua yang berada di belakang kampus Andrea.
"Lo yakin ini tempatnya?" Ibram bertanya.
"Iya, sesuai sama yang Andrea bilang. Tapi kenapa sepi? Gimana nih? Apa terjadi sesuatu sama Andrea?" Mayang hampir menangis.
"Kita masuk!"
Ibram sebenarnya ingin masuk sendiri, tapi dia khawatir jika terjadi apa-apa sama Mayang jika meninggalkan Mayang sendiri di luar karena tempat itu sepi dan terlihat rawan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mayang Senja (END) ✔ TERBIT
RomanceNamanya Mayang Senja, usia 29 tahun. Bekerja sebagai sekretaris dari seorang Hitler__julukan darinya untuk CEO yang lima tahun lebih muda darinya. Bercita-cita tak pernah menikah seumur hidup, alasannya adalah dia yang lahir tanpa ayah, jadi siapa y...