Hitler si Buaya is calling...
Panggilan di ponsel Mayang untuk kelima kalinya dari penelfon yang sama. Mayang tidak sedang sibuk, bahkan dia sedang tidak melakukan apapun. Kecuali menatap layar ponselnya dan mengabaikan panggilan atasannya sambil berbaring di atas kasurnya. Kini pun sama, dia tak ada niat menjawabnya. Membiarkan panggilan itu berubah menjadi panggilan tak terjawab untuk kelima kalinya.
Kini dia memilih menonaktifkan ponselnya, dan bersiap untuk tidur. Baru selesai berdoa, ada yang mengetuk pintu kamarnya. Terpaksa, dia berjalan malas ke arah pintu kamarnya lalu membukanya.
"Ada apa dek?" Tanyanya pada sosok manis yang berdiri di depan pintu. Gadis dengan ponsel di tangannya.
"Nih, ada telfon. Bos-nya Mbak Mayang," kata Gadis polos.
"Kenapa nggak bilang saja kalo mbak sudah tidur?" Mayang dengan sedikit penekanan pada kata tidur.
"Ih, kata Mbak Mayang kita nggak boleh bohong. Malaikat bisa ngejauh satu mil dari kita karena bau kebohongan yang berasal dari mulut kita. Itu kan kata Mbak Mayang? Gadis pintar kan, Mbak?"
"Iyah.." meski kesal Mayang tetap menerima ponsel yang Gadis ulurkan kepadanya.
"Bisa tinggalin Mbak sebentar? Nanti Mbak balikin ponsel kamu ke kamar kalo udah selesai,"
"Oke," Gadis pergi ke kamarnya yang tepat di sebelah kamar Mayang.
Mayang menjatuhkan dirinya di atas kasur, lalu mengucap salam pada seseorang di ujung telfon. Mayang seketika bertambah kesal kala mendengar kekehan dari seberang.
"Kenapa ketawa, Pak? Saya lagi nggak ngelucu,"
"Nggak salah gue buat milih nelfon Gadis, dia pasti bisa bikin lo ngomong sama gue,"Ibram terkekeh lagi.
"Hmm" Mayang mendengus. "Langsung ke intinya aja deh Pak!" Mayang mencoba mengabaikan detak jantungnya yang menggila karena mendengar suara bosnya. Dia berdebar. Selalu begitu sejak tau siapa Ibram.
"I'm missing you badly.."
Deg
Kata-kata Ibram tepat sasaran. Kini Mayang tak hanya debarannya yang menggila, tapi juga gemetar dan lemas.
"Lo bisa bayangin kan sekarang. Selama empat tahun, sekangen apa gue sama lo? Sangat Mayang... sangat.." suara Ibram tercekat.
"Tapi nggak nyampe ngebunuh kan?" Tanya Mayang.
"Alhamdulillah nggak, karena gue nggak mau mati dulu sebelum lo resmi jadi milik gue,"
Mayang terdiam.
"Gue udah datang, dan lo jangan lari,"
Mayang masih terdiam. Apa yang harus Mayang jawab. Dia hanya tak siap terluka. Mayang sadar, terlalu banyak perbedaan antara dirinya dan Ibram. Dia tak berani terbang tinggi, dan hancur suatu saat nanti. Dia terlalu berbeda. Dia tak punya ayah.
"Tidur Pak, ini sudah malam," Mayang mengalihkan pembicaraan. Tak ingin membahas perasaan. Dia takut ketahuan, mungkin saja kini hatinya telah menaruh rasa pada Ibram.
"Lo nyuruh gue tidur di jalanan?"
Mayang mengernyit mendengar pertanyaan Ibram.
"Coba lo ke balkon sekarang!"
Tanpa menunggu, Mayang meraih jilbab instannya di atas kasur, lalu mengenakannya sambil berlari ke arah balkon.
Sesampainya di balkon, lututnya melemas kala matanya menangkap sosok yang sedang bicara dengannya di telfon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mayang Senja (END) ✔ TERBIT
RomanceNamanya Mayang Senja, usia 29 tahun. Bekerja sebagai sekretaris dari seorang Hitler__julukan darinya untuk CEO yang lima tahun lebih muda darinya. Bercita-cita tak pernah menikah seumur hidup, alasannya adalah dia yang lahir tanpa ayah, jadi siapa y...