Serius, Mbak ini istrinya?
Nemu di mana? Pengajian?
Ibram, lo dijodohin? Kayak yang di novel-novel, cowok bandel dapat ukhti-ukhti, biar tobat gitu?
Gue nggak ikut ngihina, ah! Siapa tau Ibram luluh sama gue, karena baikin istrinya, hahaha
Kata-kata itu sulit dilupain kalo mendengarnya pake hati, bukan telinga. Keempat wanita di lift tadi menjadi bencana bagi Ibram, ternyata mereka adalah teman-teman Ibram dulu. Segala aib Ibram menguar lewat mulut ceriwis mereka, namun belum sepenuhnya terungkap karena pintu lift keburu terbuka. Ibram tak habis pikir, kenapa setelah sekian tahun wanita-wanita itu masih berteman dan masih sama saja tingkat kecerewetannya.
Di restoran pun, meski duduk di meja terpisah, Mayang masih mendapat tatapan merendahkan dari para wanita itu. Mereka masih tertawa dan sesekali melirik ke arahnya. Sampai-sampai Indah pikir putrinya itu sedang sakit, karena semenjak tadi hanya diam.
"Mayang baik-baik saja kok, Ibu." Katanya kepada Indah yang tadi bertanya perihal kesehatannya. Makanannya bahkan baru dia makan beberapa suap saja, nasi goreng pesanannya masih separo lebih tersisa di piringnya.
"Ini gara-gara Ibram, Bu." Ibram menunduk, ingin mengakui dosanya. Indah hanya mengernyit melihat menantunya itu.
"Tadi kami ketemu temen-temen Ibram di lift. Mereka ngomong macam-macam tentang masa lalu Ibram. Maafin Ibram, Bu. Mayang jadi sedih deh."
"Lho kok ke ibu minta maafnya?" Tanya Indah.
"Tadi udah minta maaf ke putri Ibu yang cantik ini, tapi masih saja ngediemin Ibram. Padahal masa lalu Ibram belum semuanya kebongkar, masih banyak yang belum Mayang tau." Bibir Ibram mengerucut lucu, membuat Mayang tak kuasa menahan senyumnya. Namun Ibram tak melihatnya, dia sedang menunduk. "Dulu Ibram anak bandel, Bu," ucapnya dengan nada penuh penyesalan.
"Iya deh, dimaafin!" Kata Mayang yang membuat Ibram mendongak melihat wajah sang istri. "Lagian siapa yang marah?"
"Beneran, nggak marah?" Ibram tersenyum, setelah Mayang mengangguk dan tertular senyuman Ibram.
Indah turut bahagia melihat putrinya, Ibram benar-benar menyayanginya.
"Assalamu'alaikum." Seseorang menyapa dan ketiganya menjawab salam hampir bersamaan. Ibram berdiri lalu menyapa ala pria pada Albert yang baru saja datang menghampiri meja mereka.
Indah tak ingin beradu tatap dengan Albert, dia lebih memilih menghabiskan sarapannya lalu ingin segera kembali ke kamarnya.
"Duduk, Om. Udah sarapan belum?" Albert menuruti Ibram lalu duduk persis di depan Mayang, melihat putrinya sambil menjawab pertanyaan Ibram bahwa dia sudah sarapan.
"Selamat pagi, Cantik!" sapa Albert. Hanya Indah yang nampak kaget dengan sapaan Albert pada Mayang, sedangkan Mayang dan Ibram nampak sudah terbiasa. Bahkan dengan senyuman, Mayang membalas ucapan selamat pagi Albert.
"Om, ubah dong panggilannya. Sekarang Mayang sudah punya suami, jangan manggil cantik sembarangan! Ntar suaminya marah!" Protes Ibram.
"Om nggak takut sama suaminya, Mayang akan selalu jadi si cantik-nya om!" Ucap Albert dibarengi kekehan khasnya. "Selamat pagi, Indah!"
"Pagi," jawab Indah datar tanpa melihat Albert.
"Kita mirip keluarga bahagia, ya?" Albert berasumsi.
"Makanya nikah, Om. Biar ada temen kalo sarapan. Mungkin bidadari yang Om tunggu itu nggak bakalan datang, jadi nyerah aja! Om udah tua!" Ibram selesai dengan sarapannya, lalu menatap Albert. "Bidadari Om pasti nggak tau kalo semenjak dia pergi, Om jadi mualaf," tambah Ibram.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mayang Senja (END) ✔ TERBIT
RomanceNamanya Mayang Senja, usia 29 tahun. Bekerja sebagai sekretaris dari seorang Hitler__julukan darinya untuk CEO yang lima tahun lebih muda darinya. Bercita-cita tak pernah menikah seumur hidup, alasannya adalah dia yang lahir tanpa ayah, jadi siapa y...