Menjelang waktu ashar, keempat dara keluar dari kediaman mewah keluarga Lukman. Mereka mengubah niat yang awalnya akan pulang ke kos Bapak Budiono tercinta, namun mobil yang dikemudikan oleh Dian itu kini berbelok arah menuju kantor di mana Ibram bekerja. Mereka putuskan untuk menemui Ibram dan merencanakan sesuatu. Jalanan tak terlalu ramai, padahal biasanya macet dan Jakarta berteman baik. Alhasil, hanya setengah jam mereka kini tiba di basement kantor Ibram.
Satya serius sayang sama kamu, An. Dia adik mbak, jadi mbak tau kapan dia bohong atau jujur. Awalnya cara dia memang salah, tapi masih bisa diperbaiki, 'kan?
"Woyyy!! Buruan turun!" Seruan Dian pada Andrea yang bengong, padahal ketiga temannya sudah berada di luar mobil, tinggal Andrea yang masih melamun. Kata-kata Mayang saat tadi dia ke rumahnya kini terus terngiang di telinganya.
Andrea nyengir kuda. "Gue tunggu di sini saja, boleh nggak, gengs?" Dia tak ingin bertemu dengan Satya, meskipun cuma kebetulan.
"Kak Satya?" Andara menebak, pasti alasan Andrea enggan turun adalah Satya.
Andrea mengangguk perlahan sambil memainkan ujung khimarnya.
"Hadapi dia, jangan menghindar. Ingat kata Mbak Mayang tadi? Kak Satya nggak jahat!" Dian ikut bicara.
"Ayo dong, udah nggak sabar nih, Gadis mau marah sama Pak Boss! Lagian di sini panas, ikut masuk aja deh."
Andrea akhirnya mau keluar, dan kini keempatnya meninggalkan tempat di mana mobil Dian terparkir.
***
Mayang sedang memperhatikan Sean yang sedang bermain puzzle di kamarnya, lalu menoleh dan menjawab ketika seseorang mengucap salam."Ibu?" Mayang mendekat ke arah ibunya yang kini berada di ambang pintu kamarnya, kebetulan pintunya terbuka. Mencium tangannya dan dibalas sebuah senyuman dari Indah. "Sama siapa ke sini?"
"Sama mama dan papamu, mereka menemui ibu di hotel." Indah duduk di sofa putih yang berada di kamar itu, "ibu nggak jadi pulang."
"Kenapa, Bu? Bukannya tiketnya sudah dipesankan oleh Satya?"
"Karena ibu dengar, kamu sedang kurang sehat. Apa semuanya baik?"
Mayang terdiam tak menjawab pertanyaan sang ibu, dia justru mengalihkan pandangannya pada Sean yang berada di atas kasurnya.
Meski sempat ragu, Indah mengusap punggung putrinya yang duduk di sampingnya dengan lembut. Justru sentuhan itu malah membuat Mayang ingin menangis, bukan karena masalah rumah tangganya melainkan karena perhatian dari ibunya yang tak pernah dia dapatkan selama ini. Hatinya yang berkemarau panjang, gersang dan kering kini dihapus dengan guyuran kasih sayang dari belaian sang ibu.
"Menangislah." Indah mendekap tubuh Mayang, putrinya yang selama ini dia abaikan. Hati Indah kini bagai disayat dengan sebilah pisau lalu ditaburi garam di atas sayatan itu. Sekuat tenaga dia tahan air matanya, rasa bersalahnya selama ini membuatnya tak berhak untuk menghakimi apa yang sedang putrinya alami saat ini. Luka yang ia torehkan bahkan lebih besar daripada luka baru milik putrinya.
"Bunda, kenapa nangis?" Sean turun dari kasur dan kini berdiri di dekat Mayang, sedang melihatnya dengan sedih.
Mayang menghapus air matanya dulu sebelum mengurai pelukan terhangat yang pernah dia rasakan selama dia hidup, dukanya tak selamanya berbuah pahit. Buktinya, baru saja dia mendapatkan apa yang tak pernah dia dapatkan, yang tak pernah dia rasakan meski setengah mati Mayang menginginkan itu dulu. Namun, tiba-tiba ibunya sendiri yang memberikannya tanpa dia minta. Sebuah pelukan seorang ibu yang hangat dan menenangkan.
Alhamdulillah. Kata itu tak berhenti dia lantunkan dalam hatinya sebagai ungkapan rasa syukurnya pada Allah Yang Maha Baik.
"Bunda nggak apa-apa kok, Sayang." Mayang mengangkat sosok kecil di hadapannya itu ke dalam pangkuannya. "Main puzzle-nya udahan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mayang Senja (END) ✔ TERBIT
RomansaNamanya Mayang Senja, usia 29 tahun. Bekerja sebagai sekretaris dari seorang Hitler__julukan darinya untuk CEO yang lima tahun lebih muda darinya. Bercita-cita tak pernah menikah seumur hidup, alasannya adalah dia yang lahir tanpa ayah, jadi siapa y...