"Kenapa harus senyum semanis itu sih?" gerutu Ibram saat melihat dengan malas ke arah Mayang yang sedang asyik mengobrol dengan seorang pria. Meski tadi dia dan pria itu sempat Mayang kenalkan ketika baru saja menginjakkan kaki di pasar tradisional yang menjadi destinasi mereka.
Sebenarnya Ibram enggan, tapi demi istrinya dia rela menginjakkan kaki di mana orang-orang desa Mayang bertransaksi jual beli itu.
Pria itu bernama Reksa yang ternyata adalah anak dari pengasuh Mayang saat bayi, tapi pengasuhnya itu sudah lama meninggal. Mereka seumuran, dan berteman akrab sejak kecil. Reksa adalah satu-satunya sahabat yang wanita itu punya saat tinggal di desa itu.
"Jadi, ini suami kamu?" tanya Reksa, Mayang mengangguk membenarkan.
"Maaf ya kemarin nggak bisa datang ke nikahan kamu, karena istriku lahiran di rumah sakit."
Syukurlah kalo sudah beristri. Kata Ibram dalam hati.
"Terus ngapain di sini?" tanya Ibram yang terheran. Kenapa Reksa malah nongkrong di pasar kalo istrinya sedang ada di rumah sakit?
"Ngantar mertua." Reksa tersenyum ramah. "Di rumah akan diadakan syukuran kelahiran anak kami. Kamu datang ya, ajak suami kamu,"pintanya pada Mayang.
"Insyaa allah, Sa." Mayang lagi-lagi tersenyum.
Tuh kan, senyum lagi! Gerutuan Ibram berikutnya.
Seorang wanita paruh baya datang menghampiri mereka dengan tas belanjaan yang penuh terisi. Bahkan masih ditambah sekantong plastik besar yang dia jinjing dengan susah payah.
"Kenapa ibu bawa sendiri belanjaannya, nggak manggil Reksa aja?" tanya Reksa pada sang ibu mertua.
"Nggak pa-pa, Sa. Ibu malas bolak balik." jawab mertua Reksa yang kemudian mengalihkan pandangannya pada Mayang. "Loh, Mayang 'kan ini?" wanita tua itu tersenyum pada Mayang yang sejak tadi berwajah ramah.
"Iya, Bude. Bude, apa kabar?" Mayang menyalami wanita itu lalu mencium punggung tangannya.
"Alhamdulillah, sehat. Kamu kapan pulang dari Jakarta? Liburan atau menetap? Melati abis lahiran, anaknya cowok. Kalo sempat ayo mampir ke rumah Bude."
"Insyaa allah, Bude." Mayang menoleh ke arah Ibram yang sedari tadi berasa jadi obat nyamuk. Mayang mengulurkan tangannya ke Ibram, menyuruhnya mendekat.
"Kenalin Bude, ini suami Mayang."
"Loh, kapan nikahnya? Kenapa bude nggak diundang to, Nduk?"
"Kemarin, Bude." Ibram yang menjawab sambil mengulurkan tangannya. "Saya Ibram, suaminya Mayang." Pemuda kota itu memperkenalkan dirinya.
"Bagus tenan bojomu, Nduk! Orang Jakarta, ya?"
Mayang mengangguk sambil tersenyum. Tanpa dia sadari, suaminya yang dari tadi menggerutu itu tersenyum bangga. Obrolan mereka tak lama karena Reksa dan mertuanya pamit untuk pulang dengan alasan keburu siang. Lalu, Mayang mengajak Ibram menjalankan niat utama mereka, yaitu masuk pasar.
"Aku tunggu di sini saja deh, Yang. Di dalam pasti bau!" Ibram bernego. Dia benar-benar enggan.
"Belum lihat, jangan men-judge. Ini istri kamu loh yang minta. Lagian ini cuma pasar, kenapa takut gitu?"
"Bau, Yang,"
"Janji deh, kalo kamu nggak nyaman kita pulang. Tapi coba dulu."
Akhirnya Ibram menuruti Mayang dan ikut masuk ke dalam pasar. Lalu apa yang terjadi? Ibram dibuat kagum dengan pasar yang dia tadinya enggan datangi. Bersih dan nyaman. Tidak seperti yang dia bayangkan atau bandingkan dengan pasar-pasar yang di Jakarta. Mereka menggelar dagangan mereka di atas dipan kayu yang berjejer dengan rapi di alam khas pedesaan yang nampak sebuah gunung terlihat dari kejauhan. Tidak penuh sesak dan bercampur dengan bau tak sedap seperti pasar-pasar di kota besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mayang Senja (END) ✔ TERBIT
RomanceNamanya Mayang Senja, usia 29 tahun. Bekerja sebagai sekretaris dari seorang Hitler__julukan darinya untuk CEO yang lima tahun lebih muda darinya. Bercita-cita tak pernah menikah seumur hidup, alasannya adalah dia yang lahir tanpa ayah, jadi siapa y...