Janji Ibram

12.7K 1.2K 28
                                    

Empat tahun yang lalu...

Jalanan sepi dan basah, hawa dingin mencekam saat hampir tengah malam. Mayang berjalan dengan kewaspadaan tinggi, takut jika saja ada bahaya yang sedang mengancam dirinya.

Dia mengayun langkah secepat yang ia bisa, mencengkeram tali tas selempangnya dengan sekuat tenaga, seolah dia sedang menguatkan dirinya sendiri.

Salahnya sendiri memang, pulang terlalu malam untuk mengusir kesedihan yang dia rasa saat menelfon neneknya tadi sore. Yah, dia bisa sesedih itu lalu mengelilingi kota Jakarta hingga hampir tengah malam cuma gara-gara panggilan telfonnya pada sang nenek, namun orang lain yang mengangkat panggilannya, dia sang ibu.

Dia hampir mencapai gang tempat kosnya berada, di kos lamanya bukan kos milik Bapak Budiono. Dia tinggal melewati jalan sempit yang saat ini dia lalui, kira-kira sepuluh menit lagi dia sudah bisa tidur di kasurnya yang nyaman.

Tiba-tiba sesuatu menghalangi jalannya, di gang senggol yang cuma bisa dilewati seorang saja itu dengan pencahayaan dari lampu di ujung gang, kakinya tersandung sesuatu. Ditambah sesuatu itu bersuara. Mayang ketakutan, dengan sikap waspada dia mengambil botol spray berukuran kecil yang selalu dia kantongi di saku gamisnya. Berjaga-jaga dengan mengambil botol spray yang berisi cairan cabe dari sana. Menggenggamnya erat.

"To-long...."

Suara yang teramat lirih, hampir tak terdengar.

Mayang menunduk untuk melihat sesuatu yang bersuara itu.

"Tolongin gue.."

Rintihan minta tolong itu makin jelas terdengar.

Seketika Mayang berjongkok ketika pandangannya dengan jelas menangkap sesosok pria yang tergeletak di atas tumpukan kantong sampah yang baru saja dia lewati.

"Lo kenapa?" Tanya Mayang khawatir, tentu saja. Pria itu berlumuran darah, bahkan wajahnya hampir tak terlihat karena penuh cairan merah yang berasal dari tubuh pria itu. Dia sekarat.

"Lo bidadari dari surga yang mau jemput gue ya?" Tanya si pria.

"Ngomongin apa sih lo? Lo kenapa tiduran di sini?" Mayang dengan polosnya.

Pria itu terkekeh.

"Lo bukan bidadari? Ck, kirain.. Berarti nih gue masih hidup kan ya?"

"Hmmm" Mayang sedikit kesal, seakan tak terima saat mendengar dirinya disebut bidadari.

"Tapi lo emang cantik, mirip bidadari gue rasa," pria itu tersenyum. "Tolong telfonin abang gue, please!"

"Gue mana tau nomor abang lo!"

Pria itu terkekeh lagi, padahal badannya hampir tak bisa dia gerakin seluruhnya.

"Ponsel gue di kantong celana, tolong! Telfonin abang gue, dia dokter,"

Mayang langsung menuruti apa yang pria itu katakan.

"Sandinya berapa?" Tanya Mayang saat mengetahui ponsel yang baru saja ada di tangannya itu menggunakan sandi.

"Tanggal Indonesia merdeka,"

"Cinta tanah air ya lo ternyata,"

Untuk kesekian kalinya, pria itu terkekeh lagi. "Lo lucu,"

"Assalamu'alaikum," sapa Mayang pada pemilik nomor telepon yang bernama Abang Rei.

Lalu Mayang menceritakan apa yang dia lihat sekarang kepada pria di ujung telfon.

Mayang hanya disuruh agar mencoba membuat si pria asing itu tetap sadar. Mayang harus mengajaknya bicara sampai dokter itu datang dengan ambulance.

Mayang Senja (END) ✔ TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang