"Pak Boss!!" Seru Gadis dari arah yang tak disangka-sangka, dia berlari menuju Ibram dan Mayang yang menuju ruang makan keluarga.
Gadis berhenti tepat di hadapan sepasang pengantin baru yang sedang bergandengan tangan itu. "Jadi pengantin pengganti itu, Pak Boss?" Tanya Gadis berkaca-kaca.
Ibram tersenyum lalu mengangguk.
Seketika Gadis menghambur memeluk tubuh Mayang sambil menangis. "Selamat Mbak, Gadis tadi sempat sedih karena mendengar Mbak Mayang dihina-hina dan batal menikah. Taunya ... malah nikah sama Pak Boss! Gadis jadi terharu dan turut berbahagia buat kalian." Gadis menyeka air matanya. Lalu menoleh ke arah Ibram yang masih tersenyum.
"Selamat ya, Pak Boss! Hebat deh, bisa menyusup ke istana terus halalin Sang Putri, uwuhhhh banget!"
"Bisa aja kamu, Dis! Tapi maaf ya, ntar malam Mayang tidurnya sama gue, jadi lo mesti pindah!" Kata Ibram yang diakhiri tawa.
"Karena pengantin prianya ternyata Bos Hitler, Gadis nggak mau pindah! Wekkk!" Gadis menjulurkan lidahnya lalu menguasai lengan kanan Mayang, menariknya menuju ruang makan. Meninggalkan Ibram di belakang dengan gerutuannya.
Mayang hanya menggeleng sambil tak hilang senyuman di wajahnya, melihat dua orang yang dia sayang itu memperebutkan dirinya.
Tanpa mereka sadari, ada seseorang yang ikut tersenyum saat melihat tawa mereka.
***
Suara dentingan sendok yang beradu dengan piring, terdengar di atas meja makan yang sangat panjang. Meja makan yang sering Ibram lihat di film-film bertema kerajaan, tapi ini nyata di depan matanya. Bahkan dia menjadi salah satu orang yang duduk sambil menyantap makanan bersama orang-orang yang belum dia kenal itu.
Meski canggung, dia mencoba terlihat tenang. Benar kata Gadis, Mayang adalah seorang Tuan Putri. Melihat betapa megah rumah ini, dan betapa banyak pelayan yang ada.
"Jadi nama kamu, Ibram?" Pertanyaan itu Ibram dengar tepat saat ia meletakkan sendoknya di atas piring usai menandaskan makanannya. Ibram mendongak mengangkat wajahnya lalu melihat sosok pria yang duduk di kursi di ujung meja panjang itu.
"Iya, Pakde." jawab Ibram mencoba untuk tidak gugup. Dari penjelasan Satya, Ibram tau orang yang barusan bertanya padanya tadi adalah kakak tertua dari Indah, yang berarti pakdenya Mayang, Atma namanya.
Pria paruh baya itu nampak tersenyum, lalu mengajukan beberapa pertanyaan lagi kepadanya. Seperti siapa dia sebelum menjadi suami Mayang, apa pekerjaannya dan kenapa bisa masuk ke rumah ini dengan mudah hingga Satya tersenyum sambil menggaruk tengkuknya karena ketahuan. Namun, pria itu tak mempermasalahkan itu sama sekali, Ibram pikir Atma akan memarahinya tadi. Meski ramah, Atma berperangai sangat tegas.
"Andai tadi Mayang jadi menikah dengan dokter Zafran, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Atma.
Ibram tersenyum lalu menjawab, "saya akan pulang dengan bangga Pakde. Meski hati saya hancur, tapi saya sudah memperjuangkan cinta saya sampai akhir. Tapi alhamdulillah, Allah tak membiarkan saya terluka di bagian akhirnya."
"Apa kamu begitu mencintai Mayang?" Tanya seorang wanita tua yang duduk di kursi roda di samping Atma. Ibram menduga wanita itu adalah neneknya.
"Iya, Nek. Sangat." Ibram tak ragu, karena memang benar adanya.
"Sepertinya kamu memang tidak berbohong, karena Mayang sepertinya sangat bahagia meski pernikahannya gagal." Jeda beberapa detik, "terima kasih karena sudah mengejar Mayang sampai ke sini." Wanita tua itu tersenyum tulus untuk Ibram.
Mayang tersentak karena tiba-tiba tangannya yang ada di atas pahanya di bawah meja, digenggam erat oleh Ibram. Membuat jantungnya bertingkah alay lagi, dan wajahnya bersemu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mayang Senja (END) ✔ TERBIT
Storie d'amoreNamanya Mayang Senja, usia 29 tahun. Bekerja sebagai sekretaris dari seorang Hitler__julukan darinya untuk CEO yang lima tahun lebih muda darinya. Bercita-cita tak pernah menikah seumur hidup, alasannya adalah dia yang lahir tanpa ayah, jadi siapa y...