Suasana lorong rumah sakit yang sepi, cahaya lampu yang temaram menjadikan beberapa sudut terlihat gelap, bahkan mungkin mencekam bagi beberapa orang yang melintas. Tak banyak aktivitas yang Satya lihat di sepanjang lorong yang ia lalui itu, hanya beberapa keluarga pasien yang duduk di kursi-kursi tunggu atau tenaga medis yang sedang bekerja. Hanya suara sepatunya yang beradu dengan lantailah suara yang ia dengar.
Dia sudah tau di mana letak bangsal yang ia cari, berkat bantuan seorang perawat yang berpapasan dengannya di lobi. Di sinilah ia berada, sebuah papan kecil yang bertuliskan Kenanga memberitahu padanya bahwa Andrea dirawat disini. Dia berhenti sejenak, gadis yang membuatnya berkendara Jakarta-Bandung malam-malam begini, mungkin saja sedang terlelap di salah satu kamar yang berjajar di lorong tepat berada di hadapannya kini. Satya menarik nafasnya dalam, menguatkan hati jika penolakanlah yang akan dia terima untuk kesekian kalinya.
Nurse station di samping kanannya sedang kosong, mungkin saja para perawat sedang bertugas hingga tak ada satu pun yang bisa dia mintai izin membesuk. Ragu mulai menyapanya, apa boleh berkunjung jam sebelas malam seperti sekarang?
"Aduhhh!!!!" Terdengar suara mengaduh dari arah kiri dari tempat dia berdiri bimbang. Satya menoleh dan menemukan beberapa permainan anak-anak yang biasa ia lihat di sekolah anak usia dini. Ayunan dan permainan sejenisnya.
Tiba-tiba jantungnya berdetak cepat saat indera penglihatannya menangkap sesosok gadis yang terduduk di atas paving tepat di samping ayunan. Langkahnya otomatis mengayun ke sana.
Rasanya lega saat melihat Andrea yang berpakaian pasien berwarna pink dibalut kardigan warna navy tak lupa kerudung instan warna senada, sedang meringis memegangi kaki kanannya. Dia tak segawat yang dia bayangkan, kini dia tau Ibram hanya mengerjainya. Namun tak apa, dia tak menyesal berada di Kota Kembang itu malam ini.
Andrea yang mencoba bangkit dengan susah payah membuat Satya tak tega dan akhirnya mengulurkan tangan padanya.
"Gue bisa sendiri kok. Thanks!" Ucapan Andrea tanpa melihat tangan siapa yang terulur padanya.
Satya menarik tangannya kembali, namun gadis yang masih sudah payah berdiri itu membuatnya tak tega tentu saja.
"Kalo nggak bisa, kenapa nolak uluran tangan gue? Apa lo sebenci itu ke gue?"
Deg
Suara bariton yang dia tahu betul siapa pemiliknya. Andrea mendongak.
Kak Satya..
Pria yang sudah ia tolak beberapa kali namun justru dirinya yang rindu setengah mati, berada di hadapannya sekarang. Bolehkan dia terharu? Atau bersorak untuk dirinya sendiri? Andai Satya tahu betapa dia bahagia dan berbunga, Satya datang untuknya. Lagi. Selalu saja dia yang datang, meski selama ini Andrea cuma memberinya luka.
"Gue datang, apa boleh?" Tanya Satya yang masih menunduk melihatnya, Andrea benar-benar kesulitan untuk bangun. Kaki kanannya masih belum sembuh benar.
Bagai anak kucing yang tersesat lalu bertemu dengan pemiliknya, itulah kiranya Andrea saat ini. Tak perlu pikir panjang, apalagi jaim seperti yang selalu dia lakukan sebelumnya, gadis itu mengangguk dan berkaca-kaca.
Satya tersenyum, lalu berjongkok menyamai posisi Andrea.
"Apa kabar?" Satya bertanya lagi.
"Kurang baik."
"Kaki lo?"
"Bukan. Hati gue yang nggak baik, dia---rindu seseorang."
Mendengar kata-kata Andrea, Satya menunduk menahan senyum. Kali ini dia tidak diberi teriakan atau penolakan, tapi... kerinduan. Iyah, biarkan Satya berpikir seperti itu. Aminkan saja!
KAMU SEDANG MEMBACA
Mayang Senja (END) ✔ TERBIT
RomanceNamanya Mayang Senja, usia 29 tahun. Bekerja sebagai sekretaris dari seorang Hitler__julukan darinya untuk CEO yang lima tahun lebih muda darinya. Bercita-cita tak pernah menikah seumur hidup, alasannya adalah dia yang lahir tanpa ayah, jadi siapa y...