Tears in Heaven

11.4K 911 14
                                    

Sepuluh menit lagi tepat tengah malam, mobil Albert menapaki jalanan ibukota yang terbilang cukup lengang. Mayang ada bersamanya di dalam mobil mewah itu. Mereka menuju hotel milik Albert, di mana sang ibu menginap.

"Terima kasih Om, karena udah tolongin Mayang." Ucap Mayang setelah lama terdiam. Hari ini dia hampir celaka, bayangan orang-orang yang menyekapnya tadi masih jelas dalam ingatannya.

"Jangan bilang terima kasih, udah tugas Om. Ibu kamu sedih banget tadi, dia nggak mau berhenti menangis. Dia sangat sayang kamu."

"Iya, Mayang tau. Sekarang Mayang nggak pernah mikir macam-macam lagi soal ibu, udah bisa mengerti cara ibu menyayangi Mayang dengan caranya sendiri. Ibu beda, dia yang terbaik."

Albert terkekeh saat mendengar curhatan putrinya, ini pertama kalinya mereka bicara tentang hubungan 'keluarga'.

"Om suka lagu lama yah?" Alasan Mayang bertanya adalah sedari tadi perjalanan mereka diiiringi lagu-lagu era 80-an. Kali ini lagu yang terputar adalah When You Tell Me That You Love Me dari Diana Rose yang dirilis ulang dinyanyikan oleh penyanyi wanita berkulit hitam itu berduet dengan boyband dari Irlandia, Westlife.

Albert tersenyum lalu sekilas melirik putrinya, "iya gitu deh. Jadul ya?"

Tujuan Albert memutar lagu-lagu jadul itu adalah agar Mayang merasa rileks, karena hampir semua adalah lagu bertema cinta. Akan sangat menenang jika didengar saat perjalanan malam hari. Setidaknya itulah kebiasaan Albert yang sedang dia coba aplikasikan agar putrinya merasa tenang dan sekejap melupakan kejadian yang baru saja menimpanya.

"Nggak kok, kita sama. Mayang juga suka,"

"Benarkah?" Albert tersenyum makin lebar. Putrinya ini memang banyak kemiripan dengan dirinya. "Lagu apa yang paling kamu suka?"

Mayang nampak berpikir sambil menatap lurus ke arah jalanan. Lampu-lampu yang di luar sana membuat Jakarta tetap hidup meski penduduknya sebagian besar sedang terlelap.

"Tears in Heaven, Eric Clapton."

"Sedih banget lagu itu. Lagu tentang kerinduan seorang ayah pada putranya yang meninggal." Albert berkata lirih dan masih fokus menyetir meski nalurinya sedikit tersentil.

"Oh ya? Mayang malah nggak tau kalo ada kisah di balik lagu itu. Sekarang jadi tau deh!" Bibir tipis itu terbit sebuah senyum yang tak luput dari lirikan sang ayah.

"Anaknya jatuh dari apartemen lantai 54 saat usianya 4 tahun," Albert melanjutkan. Dia merasa lagu itu cocok untuknya, padahal dulu-dulu biasa saja, cuma sekedar penikmat lagu tersebut sewaktu belum tau bahwa dia adalah seorang ayah. Apalagi kini putrinya duduk di sebelahnya namun terasa tak mungkin menggapainya membuatnya makin melow saja.

"Hmmm Om, Mayang boleh nanya nggak?" Meski ragu, tapi Mayang penasaran.

"Boleh dong!"

"Om kenapa belum menikah?"

Albert tergelak, "bukankah kamu sudah tahu alasan Om?"

"Jadi benar karena ibu?" Mayang memastikan.

"Ya begitulah," Albert membuang nafasnya kasar. "Om terlalu cinta pada Indah Maharani, ibumu. Sejak ditolaknya cinta Om tiga puluh tahun lalu, masih gagal move on sampe sekarang." Albert terkekeh.

"Sekarang masih?"

"Mungkin sampai maut menjemput, bisa jadi begitu. Rasanya cinta ini nggak mau pergi. Apalagi sekarang orangnya makin cantik!" Jawab Albert mantap.

"Terus Om nyerah gitu?"

"Nggak akan. Makanya bantuin Om dong buat membujuk ibu kamu yang keras kepala itu, supaya mau nikah sama Om" Albert tertawa renyah. "Lalu kita jadi ayah dan anak. Apa kamu keberatan, andai Om jadi ayah kamu?" Aku ayahmu, sayang.

Mayang Senja (END) ✔ TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang