Di dalam sebuah mobil, seorang pria muda terlihat sedang menelfon seseorang dengan takzim dan penuh hormat. Dia sesekali mengangguk dan punggungnya tegap sempurna, seakan si penelfon ada di hadapannya.
"Sejauh ini saya nggak ketahuan Bos, saya akan hati-hati dan tetap memantau dari jauh," ucap si pria.
"---"
"Siap laksanakan!" Pria itu menurunkan ponsel dari telinganya, seseorang yang dia panggil 'bos' sudah memutus panggilan telfonnya. Kemudian pria itu menjalankan mobilnya kembali.
***
"Kenapa kalian berdua yang keluar? Pujaan hati gue mana?" Ibram menatap Gadis dan Andara dengan tatapan bertanya-tanya, dia tadi berkata ingin menjemput Mayang saat Pak Budiono membukakan pintu gerbang. Namun, tak lama kemudian Gadis dan Andara yang keluar menemuinya dengan penampilan siap jalan.
"Mbak Mayang ngajakin kita Pak Bos, kalian itu bukan mahram jadi nggak boleh pergi berdua. Itulah yang Mbak Mayang katakan kepada kami semalam," Andara menjelaskan.
"Terus Mbak Cantik kalian mana?" Ibram melihat ke arah pintu rumah kos itu, namun belum ada tanda-tanda bahwa Mayang akan keluar.
"Tunggu bentar, sabar! Ngomong-ngomong ini nggak kepagian?" Andara melirik arloji yang melingkar di tangan kirinya, pukul tujuh tepat. Sesuai dengan yang dia bilang kemarin.
"Keburu macet!" Jawab Ibram sewot. Lalu muka sewot berbinar seketika saat yang dia tunggu muncul dari pintu. Mayang terlihat sedang memakai sepatunya yang berwarna putih, cocok dengan gamisnya yang berwarna navy yang dipadukan dengan jilbab senada.
"Jaga pandangan Pak! Ingat bukan mahram," Gadis berbicara tegas pada Ibram.
"Iyah tau!"sahut Ibram, namun pandangannya tetap mengarah ke Mayang. Memperhatikan setiap langkahnya yang berjalan semakin mendekat.
Mayang berjalan ke arah tiga orang yang sudah menunggunya dengan malu-malu. Entah apa yang mendorongnya untuk mengiyakan ajakan Ibram. Semoga ia tak akan menyesalinya, dan jika boleh dia berharap, dia tak akan terluka atas keputusannya ini.
Mayang melirik Ibram sebentar, tak ingin melihatnya lekat karena pasti si jantung akan bertingkah lebay lagi. Dia heran dengan kinerja jantungnya akhir-akhir ini.
"Kita mau ke mana sih Pak?" Tanya Mayang.
"Kemana aja, yang penting sama lo,"
"Sama kita juga kali Pak," Gadis mengoreksi.
"Iya Gadis.."jawab Ibram malas.
"Jadi nih belum jelas mau ke mananya?" Mayang cemberut. "Lalu kenapa kita janjiannya pagi banget?"
"Biar punya banyak waktu buat mikirnya," Ibram menjawab santai sambil tersenyum.
"Gue ada ide!" Gadis semangat dengan taburan senyum di wajahnya.
***
Di sinilah mereka kini, di atas speedboat yang mereka tumpangi dari dermaga Pantai Marina Ancol menuju sebuah pulau yang ketika Ibram mendengarnya langsung mengiyakan ide dari gadis polos yang sekarang sedang duduk memeluk Mayang. Pulau Bidadari.Pulau Bidadari adalah salah satu pulau yang terletak di kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Gadis mengetahui pulau itu dari teman-temannya yang berlibur ke sana minggu kemarin. Betapa senangnya dia ketika Ibram mengiyakan ide yang tercetus dari otaknya itu. Dia bakal balas teman-temannya yang sudah membuatnya sebal karena pergi liburan tanpa mengajaknya.
"Mbak Mayang, perut Gadis mual," Gadis melingkarkan tangannya di pinggang Mayang sambil terpejam. Sepertinya dia mabuk laut.
"Tidur aja, ntar Mbak bangunin kamu." Mayang mengusap punggung Gadis lembut. Sungguh, tiba-tiba Ibram pengen gantiin Gadis di posisi itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mayang Senja (END) ✔ TERBIT
RomansaNamanya Mayang Senja, usia 29 tahun. Bekerja sebagai sekretaris dari seorang Hitler__julukan darinya untuk CEO yang lima tahun lebih muda darinya. Bercita-cita tak pernah menikah seumur hidup, alasannya adalah dia yang lahir tanpa ayah, jadi siapa y...