Seberapa Aneh?

10.5K 907 24
                                    

Usai makan malam dan semua tamu yang diundang oleh Ibram dan Mayang pulang, sesuai janjinya Ibram mengajak Mayang untuk menemui Indah, ibu mertuanya.

Keduanya kini sudah berdiri di depan pintu kamar Indah dan menunggu untuk dibukakan olehnya.

Satu menit jarak dari ketukan Ibram pada pintu berwarna coklat tua itu hingga Indah membuka pintu untuk keduanya. Senyum tipis menghiasi wajahnya yang masih nampak cantik meski sudah berusia setengah abad. Lalu menyuruh anak dan menantunya masuk ke dalam.

"Ibu, sakit? Apa perlu kita ke dokter?" tanya Ibram ketika mereka bertiga sudah duduk di sofa set di kamar Indah yang luas. Ibram sungguh memfasilitasi sang ibu mertua dengan layanan terbaik.

"Tidak perlu, hanya sedikit lelah karena perjalanan. Hanya butuh tidur saja," ucapnya datar.

Mayang pun ingin bertanya, namun hanya tertahan di benaknya saja. Bibirnya terkatup rapat.

"Mayang?" Indah memanggil lembut sang putri yang nampak terkejut dengan suaranya.

Mayang menatap wajah ibunya yang kini ada sedikit senyum untuknya. "I-iya, Ibu." jawabnya.

"Ibu baik-baik saja, tak perlu cemaskan ibu. Sekarang pulanglah." Kata-kata Indah yang terasa hangat menyentuh indra pendengarannya, bahkan hatinya pun ikut menghangat.

Mayang ingin menangis rasanya. Ibunya sudah berubah, tak sedingin biasanya. Mayang tak peduli apa penyebab perubahan sang ibu, namun Mayang bersyukur untuk apapun penyebabnya.

"Kami menginap di hotel ini, Bu. Om Albert menyediakan kamar untuk kami, dia memaksa agar kami mau menginap."

Mendengar Ibram yang menyebut nama Albert, Indah mencoba untuk setenang mungkin. Mungkin dia sudah sangat ahli dengan pengendalian ekspresi wajahnya, meski ada gemuruh hebat di hatinya.

"Oh ya, ternyata Ibu kenal Om Albert juga?" tanya Ibram.

Indah mengangguk kecil. "Sama seperti aku mengenal kedua orang tuamu, kami kawan lama." Tuturnya.

"Apa Ibu butuh sesuatu?" Mayang akhirnya berani bertanya.

Dengan datar seperti biasanya Indah menjawab, "ibu akan beritahu kalian jika nanti ibu butuh sesuatu. Sekarang pergilah ke kamar kalian, ini sudah larut malam. Istirahatlah."

"Baiklah kalo begitu, kami pamit." Ibram membantu istrinya berdiri. "Apa besok ibu masih ada di Jakarta?" tanya Ibram.

Indah mengangguk, "ibu ada janji dengan mamamu untuk pergi ke butik. Mungkin akan sedikit lebih lama di sini, untuk mengurus resepsi pernikahan kalian." Indah tak berbohong, Sekar memang menghubunginya tadi.

Entahlah, tiba-tiba Mayang tersenyum saat ibunya berkata demikian. Ibunya sudah berubah, dan Mayang suka itu.

Ibram mengulurkan tangan untuk menyalami tangan sang mertua lalu membungkuk mencium punggung tangan itu. Mayang pun begitu, mungkin berlebihan jika dia berharap akan mendapat sebuah pelukan dari wanita yang telah melahirkannya itu. Dengan sikapnya barusan saja dia sudah senang. Apa ibunya berubah karena ada Ibram? Apapun itu Mayang memilih untuk tak memikirkannya. Keduanya pun undur diri.

"Selamat malam, putriku." Ucapan lirih Indah saat pintu kamarnya telah tertutup sesaat Mayang dan Ibram keluar dari kamarnya.

***
Ibram mengulurkan tissu lagi, entah sudah berapa lembar tissu yang Mayang habiskan untuk menyeka air matanya. Mungkin istrinya itu terharu pada sikap ibunya tadi. Hingga sudah beberapa menit dia masih sibuk dengan ingus dan tangisnya yang bersuara. Mayang memang tidak bisa menangis tanpa suara, bahkan Ibram dari tadi menahan tawanya. Istrinya kalo menangis mirip dengan anak kecil.

Mayang Senja (END) ✔ TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang