00 | prolog

1K 126 40
                                    

Jum'at, 16 Maret 2019

Baiklah, sebelum gue memulai catatan aneh yang disuruh oleh pak Bambang, guru spionase tercinta. Gue bakal memperkenalkan diri gue terlebih dahulu. Nama Gue Nicho Aksa Kawista. Usia 18 tahun. Keahlian gue molor, ngabisin duit bulanan, juga membahagiakan adek gue tercinta. Kata orang, gue ini ganteng, tapi kata adek gue, gue ini mirip beruk. Gak ada ganteng-gantengnya. Terus orang-orang juga bilang, kalo gue itu cukup pintar. Tapi entah kenapa di mata adek gue, gue itu selalu dianggap orang terbego yang pernah dia temui.

Nah.

Karena gak ada instruksi mengenai catatan apa yang harus gue tulis, maka dari itu, gue bakal menuliskan sesuatu.

Apa sih mimpi lo? Dokter kah? Polisi kah? Tentara kah? Guru kah? Pengusaha kah? Apa sih mimpi lo?

Jujur, gue adalah orang yang sudah hidup hampir 17 tahun tanpa memiliki mimpi. Gue gak tau mimpi gue. Gue gak bisa memilih mimpi gue. Gak tau kenapa. Kalo kata adek gue, gue itu tipe orang yang suka ngikut arus. Si A milih ini, gue juga bakal ikut milih yang si A pilih. Si B ke arah kanan, gue juga bakal ikut kearah kanan.

Padahal mimpi itu urusan masa depan. Masalah pribadi. Dan gak harus sama seperti orang lain. Sebenarnya, dulu. Dulu nih! Gue pengen banget jadi pengacara. Kayak bapak gue. Karena dulu, sosok bapak adalah inspirasi gue. Dia baik, bijaksana, care banget sama anak istri, selalu membahagiakan gue sama adek gue. Tapi itu kan, dulu. Kalo sekarang, udah enggak.

Kenapa?

Males ah! Nanti gue mewek.

Iya, gue itu cowok tapi membleh. Tapi bodo amatlah. Gue nangis bukan karena perempuan—yakali—gue hanya akan nangis karena keluarga.

Iya. Masalah keluarga.

Dan gue gak akan cerita soal itu. Balik soal mimpi!

Setelah, merasa sosok inspirasi gue hilang, barulah, gue kehilangan mimpi gue. Gue gak minat untuk punya masa depan. Gue hanya minat untuk bebas dan pergi sejauh-jauhnya. Tapi ... gue sadar. Ada harta yang sangat penting yang harus gue jaga. Harta gue satu-satunya yang paling rapuh. Yaitu yang tak lain adalah adek gue satu-satunya. Kembaran selisih 5 menit yang selalu gue panggil 'Keke'.

Adek gue yang paling benci setengah mati dengan keluarga gue sejak masalah itu dimulai. Adek gue pula yang paling rapuh di keluarga tersebut. Bahkan dia yang akan nangis duluan jika sedang apa-apa terjadi.

Makanya, gue pengen menjadi sosok yang bisa menjadi senderan bagi adek gue. Gue pengen adek gue berhenti menangis dengan cara apapun. Gue berjalan dengan tangan di bawah keliling lapangan 100 kali pun bakal gue jabanin selama adek gue ketawa dan gak nangis lagi. Jadi, mimpi gue saat itu, adalah buat adek gue bahagia. Apapun caranya. Apa yang dia inginkan, bakal gue lakuin. Apa yang dia larang, gue bakal turutin. Selama dia bahagia di sisi gue.

Dan akhir tahun kemarin, adek gue meminta gue untuk mencari mimpi. Dan sialnya, katanya gak boleh 'ngebahagiakan adek'. Padahal itu mimpi gue. Akhirnya, setelah semedi siang malam, gue menemukan mimpi gue. Gue menemukan apa yang gue inginkan kelak saat dewasa nanti.

Gue pengen menjadi partner adek gue. Partner yang handal dan dapat dipercaya. Gue bakal menjadi partner yang selalu melindungi sesama tim. Karena nanti, gue dan adek gue akan menjadi kaki tangan negara.

Bogor, 12 Maret 2019

Nicho Aksa Kawista

* * *

Halo, para pembaca—baik reader aktif atau silent reader—gue ucapkan terima kasih untuk mau mampir ke cerita ini. Permintaan gue gak buluk-buluk amat. Cukup nikmati dan tinggalkan jejak agar memberi gue sedikit reward.

Tapi itu terserah kalian.

Selamat membaca, semoga suka dan betah.

Have a nice day!

yang baik belum tentu baikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang