Pagi-pagi jam 5 subuh. Pasar yang terletak di Tanah Abang telah ramai oleh para pembeli dan penjual yang datang untuk mengangkut barang dagangan. Dimulai dari truk, mobil dugul, bajaj dan bahkan angkot telah berjejer di pinggir pasar. Menunggu muatan penuh dengan barang dagangan. Tak hanya itu, para kenek pasar sibuk bolak-balik mengangkut barang di pundak mereka, ataupun menggunakan alat dorong yang dapat membawa bertumpuk-tumpuk dus dan karung.
"Mahal kali kau jual ini bawang! Terakhir kali ku jumpa harganya tak semahal ini, tah!"
Seorang pedagang menghela napasnya kala salah seorang pelanggannya mengeluh karena harga bawang yang melejit naik. "Ane dah cakap berkali-berkali, sampeyan ngeyel gak mau ngerti. Sebentar lagi natal, liburan sekolah! Pasti mahal lah!"
"Haduh kau ini, ya sudah, aku beli lima kilo saja!" ucap pelanggan tersebut seraya mengacungkan kelima jarinya.
"Oke—Eca! Bungkus bawang merah tuh, jug! Lima kilo!" Pedagang itu memanggil karyawannya yang bernama Eca. Gadis itu mengangguk dan dengan gesit meraup bawang merah ke dalam timbangan dan menimbangnya.
"Alah! Macam mana kau ini, pelit sekali! Tambah sedikit lagi! Kuburan mu nanti makin sempit kalau pelit macam tuh!" Pelanggan itu berkomentar kala gadis yang bernama Eca itu menimbang bawang merah.
"Ini udah lima kilo pak! Masa saya tambahin?" tanya Eca sewot. Sedangkan si pelanggan itu hanya mendengkus dan bersungut-sungut. Setelah membungkus bawang merah, Echa memberikannya kepada pelanggan tersebut yang merupakan seorang pria berumur 40-an. Pria itu menyerahkan beberapa lembar uang kepada Eca. Gadis itu segara mencarikan kembaldian di toples tempat penyimpanan uang. "Nih bang, kembaldiannya." Echa memberikan uang kembaldiannya. Setelah mengucapkan terima kasih, pria itu pergi meninggalkan stand dagangan.
Eca bergeser agak melipir dari posisi bosnya. Gadis itu menekan sesuatu di balik telinganya hingga tiba-tiba gadis itu berkata dengan pelan. "Kenari masuk, target telah pergi menuju kawasan C. Saya sudah memasang pelacak pada barang belanjaannya."
"Dimengerti, tim A segera melipir ke kawasan C. Nanda, lapor situasi di zona D!"
"Nanda masuk, beberapa anak buahnya masih berada di parkiran sejak 30 menit yang lalu."
"Nicho masuk, target berbelok ke kawasan E. Ada beberapa orang menghadangnya."
Eca adalah nama samaran yang dia gunakan. Gadis itu telah menyamar menjadi salah satu pekerja di pasar. Iya, kalian bisa katakan jika dia dan teman-temannya sekarang sedang menjalankan tugasnya sebagai mata-mata. Tapi, catat! Ini hanya masa percobaan.
"Saya akan membantu!" Gadis yang biasa dipanggil Keke itu berbicara sekali lagi sebelum mematikan alat komunikasinya.
"Pak Deng! Eca ke toilet dulu bentar, ye!" Keke sedikit berteriak dan pergi meninggalkan pemilik toko tanpa menunggu balasan dari bos palsunya itu.
"Hei! Nak kemana kau? Jangan lama-lama!" teriak Pak Deng.
Keke menyusuri koridor pasar seraya mengeluarkan topi hitam dari balik jaketnya. Gadis itu melirik kearah pria yang beriri di ujung lorong, kemudian samar-samar menganggukkan kepalanya memberikan instruksi. Hingga pria itu berbalik dan berjalan cepat beberapa langkah di depannya. Keke mensejajarkan langkahnya dengan pria itu.
"Pokonya, hari ini harus berhasil!"
Keke tersenyum tipis kala mendengar pria yang berjalan di sampingnya ini berucap. "Kalo berhasil, beliin gue celana Berskha di PIM."
Pria itu mendengkus, dan hanya dibalas oleh tawa kecil milik Keke. "Bercanda, Ko!" ucap gadis itu seraya memukul pelan punggung Koko—kakaknya. Mereka pun sampai di ujung koridor lainnya dan mendapati empat orang tengah bercengkrama. Dilihat dari gelagatnya, mereka sepertinya sedang berdebat.
KAMU SEDANG MEMBACA
yang baik belum tentu baik
AcciónDisclaimer dikit: ini hampir 2 tahun lebih di-unpublish karena gaya penulisannya yang menurutku kurang. Sengaja dipublish lagi untuk mengenang perkembangan gaya penulisan gue yang dulunya suka sok ke-jaksel-jakselan. Aslinya mah orang Bogor wkwkw. *...