2 tahun yang lalu
Suasana di salah satu ruangan aula di rumah sakit Polri yang terletak di Kramatjati itu cukup menegangkan, kala seorang panita—yang merupakan satu dari sekian anggota BIN yang menjadi panita seleksi penerimaan mahasiswa baru di Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN)—menyalakan mic dan berdiri di depan ratusan para catar yang baru saja menyelesaikan tes keswa. Panita itu seorang pemuda berusia 25 tahun ke atas memakai batik bewarna coklat serta celana bahan bewarna hitam dengan sepatu pantofel yang senada.
"Halo, halo! Gimana tadi tes-nya? Pusing gak?"
Semua orang di ruangan itu—termasuk Koko dan Keke yang duduknya saling berjauhan dari ujung ke ujung—hanya terdiam, satu dua ada yang tersenyum getir dan satu dua ada yang menghela napasnya lelah. Jujur, menurut si kembar tak identik itu soalnya mudah, tapi sangat berkelit dan memusingkan kepala serta mata yang harus jeli dalam menghitamkan lembar jawaban. Belum lagi, LJK yang digunakan itu diisi dengan bolpoin, sedangkan Keke tidak memiliki tip-ex untuk mengganti jawabannya atau sekedar merapihkan hitaman di LJK-nya karena tip-ex dipegang oleh Koko yang duduk nan jauh di sana. Mau minjam tapi tengsin.
"Pusing!"
Salah satu catar yang duduk dua kursi di samping Keke berceletuk. Lalu tak lama kemudian disusul oleh orang-orang yang juga ikutan berceletuk.
"Iya, kak. Pusing. Banyak banget soalnya!"
Kira-kira seperti itu jawabannya. Dan Keke hanya terdiam seraya mengurut tangannya yang cukup pegal sesekali mengusap noda hitam di telapak tangannya akibat tinta bolpoinnya yang tadi sempat bocor.
"Yaudah, biar gak pusing ... gimana kalo kakak minta salah satu dari kalian buat unjuk bakat."
Terjadi keheningan sejenak. Keke menatap kanan-kiri-belakang, melihat ekspresi dari setiap catar yang ada di aula ini dan juga ingin tahu, apakah ada yang minat untuk unjuk bakat?
Eh, tunggu ... unjuk bakat apa ini? Bela diri?
Keke mendengkus. Gara-gara suasana hening, dengkusan gadis itu justru terdengar oleh si panitia berbatik coklat itu. Lantas pria itu menolehkan kepalanya ke arah Keke—yang kebetulan duduk di salah satu meja paling depan dan dekat dengan posisi panita itu berdiri.
"Kamu mau unjuk bakat?" tawar panita. Keke melotot, cepat-cepat menggeleng.
"Nggak, Bang—eh Kak!"
Panita itu terkekeh. Keke menghela napasnya lega.
Lagipula, bakat apa yang Keke punya? Kalau makan semangkuk mie dalam 5 detik sih, Keke jagonya. Kalau bela diri ... Keke gak mau nunjukin. Yang ada malah mengundang banyak mahkluk-mahkluk aneh—mengingat jika dirinya sedang ada di rumah sakit. Dan dia juga tidak mau kena semprot sesepuh lagi untuk yang kelima kalinya dalam satu minggu.
"Ayo jangan malu-malu," kata panitia itu, tetap keukeh ingin Keke maju.
"Nggak deh, Kak."
"Yaudah, siapa yang mau? Masa pada gak—"
"Saya kak!"
Seseorang berseru seraya mengangkat tangannya. Keke menoleh mendapati seorang catar perempuan dengan tubuh atletis berdiri dan maju ke depan. Seperti yang sudah Keke tebak, catar itu menunjukkan bakat bela diri taekwondo-nya yang membuat Keke sukses mengatakan 'wah' berkali-kali dalam hati. Dan ternyata setelah catar itu maju, banyak yang ikut menunjukkan bakatnya. Entah itu menyanyi, menari, bahkan ada yang public speaking. Tapi rata-rata bakat yang ditujukan itu bela diri.
"Ayo, siapa lagi? Sambil menunggu panggilan wawancara. Ada yang bisa sulap gak?"
Lagi-lagi hening. Keke menatap Koko yang juga menatapnya di ujung sana. Dalam hatinya, sebenarnya Keke ingin sekali menunjukkan kemampuannya. Tapi dia terlalu malu sekaligus takut. Mau bagaimana pun kemampuan ilmu Kanuragaannya tidak boleh ada yang tahu ... minimal tidak sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
yang baik belum tentu baik
Hành độngDisclaimer dikit: ini hampir 2 tahun lebih di-unpublish karena gaya penulisannya yang menurutku kurang. Sengaja dipublish lagi untuk mengenang perkembangan gaya penulisan gue yang dulunya suka sok ke-jaksel-jakselan. Aslinya mah orang Bogor wkwkw. *...