20 | jebal

136 34 2
                                    

Napasnya terengah-engah. Tubuhnya bergetar kala kakinya dipaksa untuk berlari. Beberapa anak kecil yang sepantaran dirinya berlardian di depannya. Bocah itu tertinggal beberapa meter dari segerombolan anak-anak jalanan yang kabur dari kejaran Satpol-PP.

"Woy!! Tungguiiin!!"

Aksa kecil berteriak kala teman—tidak! Mereka bukan temannya, karena dia tidak kenal mereka—berlari meninggalkan dirinya yang mulai kelelahan.

"Makanya cepetan larinya!!" ujar salah satu dari mereka yang membawa ukulele.

Aksa mendengkus, dia tidak terbiasa berlari secepat dan sejauh ini. Alhasil kakinya oleng dan terjatuh. Bocah itu entah kenapa tiba-tiba menangis, namun karena dia tidak mau ditangkap oleh Satpol-PP—yang katanya adalah orang jahat—alhasil dia memaksakan dirinya untuk bangkit dan bersembunyi di balik gerobak tukang bubur yang sudah tidak terpakai. Bocah itu menyeka air matanya dan meringis kala melihat kedua lututnya berdarah.

"Bundaa ... hiks!"

Bocah itu menangis kecil. Pikirannya dipenuhi oleh sosok bundanya yang tersenyum kearahnya, membuat air matanya makin bercucuran. Ini sudah hari ke-empat belas di mana dia terombang-ambing di jalanan ibu kota. Tanpa tahu ke mana tempat yang dia tuju.

Dia pun kelaparan, dan terpaksa memakan makanan basi yang dibuang di pinggir jalan, karena dia hanya membawa diri dan sebuah kalung berlogo hitam polos yang dia kenakan.

"Axton ... ma—mau ketemu Bu—Bunda sama Vater ... hiks." Bocah itu menekuk kakinya dan membenamkan wajahnya di antara lututnya yang luka. Jujur, dia tidak tahu harus apa? Bersedih, bersyukur atau justru marah?

Bersedih, karena kedua orang tuanya telah dibunuh oleh orang yang tidak dia kenal? Bersyukur, karena dia masih bisa hidup dan melarikan diri sejauh mungkin? Atau marah, karena dunia terasa tidak adil? Kenapa orang tuanya harus mati? Kenapa mereka harus meninggalkannya yang tidak tahu apa-apa?

Kenapa?

Sejak saat itu, Aksa benci pertanyaan itu.

Tangisannya terhenti kala dia mendengar langkah seseorang yang mendekat. Dia cukup tersentak, mengira jika orang-orang Satpol-PP lah yang datang. Alhasil bocah itu makin memeluk lututnya.

"A—ampun, Pak ... Aku bukan pengamen atau pengemis!" Aksa mengatakan hal tersebut sedetik kemudian.

Bocah itu mengira jika tubuhnya akan ditarik dan dipaksa untuk ikut bersama orang Satpol-PP tersebut. Namun alih-alih justru orang Satpol-PP itu berjongkok dan mengusap kepala Aksa. Aksa tertegun dan perlahan menoleh. Seorang pria mengenakan jaket kulit serta jeans robek-robek lah yang kini berada di hadapannya. Pria itu tersenyum lembut ke arahnya hingga tiba-tiba tangannya meraih kalungnya dan menelitinya sebentar.

"Om ... siapa?" tanya Aksa.

Pria itu hanya tersenyum. "Don't be worry, Balder. I'm here to take you home."

"..."

"Saya Julian Akando. Ayah kamu menitipkan pesan kepada saya."

Hal yang tidak pernah Aksa pikirkan sebelumnya. Dia tidak pernah membayangkan bahwa dirinya akan terjerat dan berkecimpungan dalam dunia seorang Julian Akando. Seorang pria dengan sejuta misteri yang merupakan sahabat karib vater-nya dulu. Dia dibawa oleh Julian ke suatu tempat yang tidak banyak orang tahu, dan akhirnya bertemu dengan tiga orang sepantaran dirinya yang sama-sama bernasib malang sepertinya. Ada Kaylan, Fajar, dan Bara.

"Nama lo siapa?" tanya Kay, saat pertama kali mereka bertemu.

Jujur, Aksa terkejut dengan gaya bicara milik bocah yang sedikit lebih pendek darinya itu. Rambutnya terlihat kecokelatan karena efek terkena paparan sinar matahari, ditambah kulitnya yang sawo matang dan kusam. Berbanding terbalik dengan Aksa yang putih bagaikan susu.

yang baik belum tentu baikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang