"Eomma, Appa tidak pulang lagi ya?" rengekan lembut dari gadis kecil yang kehilangan binar di matanya membuat Hyerim merasa sedih. Hyerim berusaha untuk tersenyum walau tidak sebaik yang ia harapkan.
"Haera tidur saja ya? Sudah malam, apa ingin tidur dengan Eomma?" Hyerim mengakup kedua pipi Haera begitu lembut. Wajah kecil ditangannya membalas dengan gelengan lemah.
"Ra mau Appa." Cicitnya kecil.
Hyerim merasakan dadanya sesak.
"Kemarin ulangtahun Ra, tapi Appa tidak pulang. Hari ini juga tidak pulang. Memang Ra nakal ya, Eomma, jadi Appa tidak sayang lagi?"
"Astaga sayang, tidak begitu." Balas Hyerim cepat. "Haera tidak nakal, Appa juga sangat sayang dengan Haera. Appa hanya sedang sibuk bekerja."
"Pekerjaan Appa lebih penting daripada Ra?"
Hyerim terdiam. Ia tidak bisa menjawab itu, lebih tepatnya bukan ia yang harus menjawabnya. Hyerim tidak bisa terus-terusan meminta pengertian dari putri kecilnya ini. Haera masih anak-anak, wajar saja jika ia ingin menghabiskan waktu bersama ayahnya.
Daripada anak lain, Haera sudah terlampau memaklumi ayahnya yang sibuk bekerja. Ia tidak pernah menuntut untuk liburan ke luar kota bersama, tidak memaksa ayahnya menemaninya seharian, tapi Haera juga butuh waktu untuk bersama. Tidak sekedar mengusap kepalanya lalu pergi bekerja atau mengecup dahinya ketika hendak tidur.
Apalagi dihari ulangtahunnya. Ia sangat berharap ayahnya ikut bernyanyi dan membantunya menuip lilin, bukan sekedar memberi paket berisikan boneka besar yang dikirim dari luar negeri.
"Haera tidur dengan Eomma saja ya malam ini." Bujuk Hyerim lembut berusaha mengalihkan pertanyaan Haera barusan.
"Tidak mau, Ra mau tidur sendiri." ketusnya kesal lalu berlari ke dalam kamar.
Hyerim menatap jam dinding yang sudah menunjukkan hampir pukul sebelas malam. Pandangannya lalu beralih pada boneka beruang besar yang duduk manis di atas sofa. Tidak bergeser sedikitpun dari saat paket besar itu tiba.
Haera tidak menyentuh kadonya itu sama sekali. Bahkan masih terbungkus plastik bening bersamaan dengan kartu ucapan yang juga enggan untuk dilihatnya.
Hyerim menghembuskan napasnya berat.
Taehyung sudah kelewatan.
***
Suara pintu yang dibuka tidak membuat Hyerim berdiri dari duduknya. Kedua tangannya masih setia bersidekap di depan dada dengan raut wajah kelewat tidak bersahabat.
"Hyerim—"
"Kita perlu bicara, Taehyung." Hyerim lalu berdiri, ia melangkahkan kakinya menuju kamar. Taehyung yang menangkap maksud itu mengikuti Hyerim.
Ini akan menjadi pembicaraan serius dan Hyerim tidak ingin Haera mendengarnya. Itu yang bisa Taehyung simpulkan.
"Kau tahu kau sudah kelewatan? Apa yang kau pikirkan hingga baru pulang hari ini?" Serang Hyerim langsung begitu pintu di tutup. Ia tidak ingin basa-basi atau sekedar memberi waktu Taehyung untuk mengganti pakaiannya.
"Maafkan aku, proyekku—"
"Pekerjaan? Hanya itu?" putus Hyerim lagi. Ia mengusap wajahnya berusaha untuk sedikit mengendalikan diri.
"Bagaimana bisa kau tidak pulang dihari ulangtahun anakmu, Tae? Kau tahu, dia menunggumu seharian. Dia bahkan tidak mau memakan kuenya." Kue itu masih utuh hingga hari ini. Haera terus menunggu Taehyung untuk memotong kuenya bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Husband (Kim Taehyung) ✔
FanfictionLee Hyerim tidak pernah menyangka bahwa nasib sial harus menimpa dirinya. Ia dijodohkan dengan seorang laki-laki yang tak ia kenal sama sekali. Yang Hyerim tau tentang laki-laki itu hanya satu, namanya. Kim Taehyung. Dan Hyerim membencinya, sangat. ...