|TS|23. Senyuman Menopengi Kesedihan

552 21 0
                                    

Sarapan pagi sudah disiapkan untuk makan satu keluarga. Tapi sayang, hanya ada satu orang yang makan dalam hening di meja makan.

Alva mengaduk makanan tidak selera. Sepagi itu kedua orang tuanya sudah rapi untuk bekerja. Padahal mereka baru pulang subuh tadi, seolah tidak ada lelahnya dengan urusan pekerjaan. Sampai tidak memperhatikan anaknya sendiri.

"Ma, Pa. Bisa berhenti sebentar buat sarapan bareng?" pinta Alva jengah seraya menaruh garpu-sendoknya di atas piring.

"Papa sudah terlambat, Nak. Makan saja sendiri," Ferdian mengangkat suara disela menyiapkan berkas pekerjaannya. Aktivitasnya itu tak jauh berbeda dengan Yulia.

Entah alasan apa Yulia memutuskan untuk menjadi wanita karier, sampai melepas tanggung jawabnya menjadi sosok ibu sekaligus istri di keluarganya. Ini bermula ketika Alva berumur enam tahun. Padahal Alva rasa, kebutuhan keluarganya sudah lebih dari cukup kalaupun papanya saja yang bekerja.

"Kami gak ada waktu, sayang. Kamu makan aja, biasanya juga makan sendiri." Yulia ikut menyahut. Justru itu, Alva kesepian. Bosan sekaligus lelah menjalani semuanya sendirian.

Alva mengepalkan kedua tangan erat atas jawaban sang mama. Berusaha menahan emosi yang selama ini ia pendam sendiri. Kenapa mereka selalu memprioritaskan pekerjaan?

"Alva gak suka liat kalian sibuk kerja," ucap Alva.

"Kamu ini bicara apa? Papa dan Mama melakukan ini juga buat kamu, Alva. Supaya kamu tidak kekurangan apapun."

"Tapi nyatanya Alva memang udah kekurangan. Kekurangan perhatian kalian," kata papanya.

"Kemarin-kemarin Mama sama Papa udah ambil cuti buat di rumah nemenin kamu," ujar Yulia.

"Walaupun di rumah, papa sama mama tetep mentingin kerjaan. Alva juga pengen punya keluarga kayak orang lain, harmonis, sering kumpul di rumah. Bukan masing-masing kayak gini. Apa uang lebih penting dari Alva?"

Yulia dan Ferdian kompak menghentikan aktivitasnya. Menatap puteranya tidak percaya. Selama ini, Alva tidak pernah berbicara demikian. Pribadinya yang pendiam membuatnya tidak dekat dengan Yulia ataupun Ferdian. Baru kali ini Alva mengeluh. Mereka pikir Alva bahagia dengan kehidupan sekarang.

"Tentu kami sayang kamu. Apa selama ini yang mama dan papa beri untuk kamu kurang?"

"Lebih dari cukup. Tapi bukan itu yang Alva butuhin. Alva cuma butuh waktu kalian. Terutama mama, Alva bener-bener ngerasa udah gak punya ibu. Maaf, Alva benci sama Mama," ujar Alva pada mamanya.

Usai itu Alva berjalan melewati keduanya yang nampak terpaku. Yulia seketika luruh. Air matanya jatuh deras. Ia memegangi dadanya yang sesak, mendengar penuturan akhir Alva. Ibu mana yang tidak kecewa saat tahu dibenci oleh anak sendiri?

***
Hari ini kantin sudah seperti markas most wantednya SMA Bakti Darma. Semua bangku terisi penuh mulai dari kelas 10 sampai 12. Barisan bangku panjang paling kanan terlihat paling menonjol menjadi pusat perhatian dari yang lain. Karena, di sana ada Alva, Rey, Daffa, Gema, Tezar, dan Chandra. Ngomong-ngomong, Gema, Tezar, dan Chandra itu senior Alva dkk.

Dan fyi, Gema itu mantan ketosnya SMA bakti Darma sebelum akhirnya jabatannya itu digantikan oleh Damian sekarang. Namun meskipun begitu, namanya tetap tak asing didengar, wajar saja, Gema itu ramah dan supel. Dia memiliki senyuman manis plus sepasang lesung pipi. Jadi tak aneh kalau banyak yang naksir. Cogan gituloh.

Ricuh, berisik dan heboh. Itu gambaran kantin saat ini. Gerumbulan laki-laki sedang bergoyang di tengah-tengah kantin lengkap dengan musik dangdut yang diputar dari radio salah satu Mamang kantin. Ceritanya, mereka sedang menggelar konser dadakan. Chandra, lelaki blasteran Indo-Amerika itu duduk diatas meja sambil memangku sapu kantin. Daffa sedang menggedor-gedor meja, dibunyikan sekreatif mungkin seperti bunyi gendang. Pun dengan Rizki anak geng sebelah yang memegang botol kecap layaknya mic. Dia berdiri di tengah-tengah kerumunan.

THE SKYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang