|TS|31. Teman

350 29 8
                                    

~Tetap berharap kamu miliki meski sadar diri aku bukan orang yang kamu inginkan.~
Bella Alvira.

***

Bella mengayuh sepedanya dengan kecepatan penuh. Keringat sudah bercucuran di wajah cantiknya, namun gadis itu tak berniat berhenti untuk sekadar istirahat sejenak. Tak salah jika orang menyorot Bella berkendara bak orang kesetanan. Tapi tatapan itu tak Bella hiraukan. Yang ada di pikirannya ialah cepat sampai ke rumah. Karena ia mendapat kabar dari tantenya kalau bundanya kembali marah-marah.

Alva sebenarnya sudah menawarkan untuk mengantar Bella, tapi sekali lagi Bella menolak. Bukannya apa, Bella sedang berusaha menjaga privasi keluarganya. Terlebih dengan kondisi bundanya saat ini. Lagipula, tak mungkin Bella meninggalkan sepedanya di danau itu, karena ia tadi ke sana juga mengendarai sepedanya.

"Bella! Cepet! Bunda kamu dari tadi lempar-lemparin barang terus! Tante bingung cara ngehentiinnya," sambut tantenya panik setibanya Bella di rumah. Jelas sekali pancaran lelah campur pasrah dalam ekspresi sang tante.

"Sekarang Bunda di mana?"

"Bunda kamu sekarang lagi marah-marah di dapur, sambil teriak-teriak."

Bella langsung membuang sepedanya ke tanah  dan melewati tantenya.

"Tante itu capek, Bel! Bunda kamu tuh makin ngerepotin, kenapa sih kamu tuh gak pernah setuju buat nitipin bunda kamu ke rumah sakit jiwa?!"

Celetuk tantenya terlalu lepas. Bella  yang baru melangkah terpaksa berbalik. Menatap tantenya yang kini diliputi perasaan bersalah.

Bella tersenyum singkat, lalu melanjutkan langkahnya yang tertunda, menganggap suara tantenya barusan tak ia dengar.

Sampai di dinding pemisah langkah Bella kembali terhenti, bertepatan dengan itu sebuah piring pecah tepat di bawah kakinya.

Tatapan Bella nanar. Memandang bergantian pada bundanya dan serpihan porselen yang ternyata sudah menyebar di mana-mana.

Pemandangan miris ini langsung menyerang Bella hingga matanya berlapiskan cairan bening, melihat bundanya yang terus berteriak, mengacak-acak isi dapur bahkan meraung tak jelas.

"Bunda udah. Cukup bunda. Jangan nangis lagi." Bella memeluk bundanya erat. Berusaha menghentikan aksinya, namun bundanya tetap meronta-ronta dan menangis. Bahkan memukul-mukul Bella.

Bella tak menghindar, ia malah semakin mengeratkan pelukannya. Tangisan pilu bundanya membuat naluri Bella sebagai anak ikut merasakan, betapa sedihnya keadaan bundanya saat ini.

"Bunda udah! Bella mohon. Bella sedih liat bunda kaya gini," lirih Bella. Ia mendekap bundanya. Hingga akhirnya gerakan bundanya semakin melemah. Ia terbujur lemah dalam pelukan Bella. Diimbuhi isakan-isakan kecil.

Setelah merasa keadaan mulai tenang, Bella pelan-pelan menggiring bundanya untuk kembali ke kamar.

Ia segera menutup pintu saat sudah memastikan bundanya beristirahat.

"Tante seneng sekarang kamu udah bisa nenangin bunda kamu, maafin kata-kata tante tadi, tante gak bermaksud—"

"Bella sama bunda yang seharusnya minta maaf." Bella memotong.

"Selama ini aku udah numpang di rumah ini, tapi malah ngerepotin pemilik rumah. Maaf juga karena tingkah bunda, aktifitas  tante jadi terganggu, tapi Bella mohon jangan kirim bunda ke rumah sakit jiwa, Bella gak bisa jauh-jauh dari bunda," jelas Bella menundukkan kepala.

"Hei. Siapa yang mau kirim bunda kamu ke rumah sakit jiwa? Tante sadar. Cuma kita keluarganya yang bisa bantu bunda kamu sembuh."

"Tante sama sekali gak direpotin sama kalian, justru tante yang seharusnya berterima kasih. Tante putusin bakal resign dari kantor, terus buka usaha buat jual kue. Dengan begitu tante punya waktu lebih banyak di rumah buat jagain bunda kamu, oke?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 31, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

THE SKYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang