Meski tidak diberi izin untuk keluar rumah, Baylor tetap bersikukuh pada niatnya yaitu menjenguk Kirana. Namun, karena kepulangan Dewi yang tidak seperti biasanya, membuat Baylor harus memohon-mohon untuk diizinkan.
"Sebentar doang, Mah." Ia menyatukan telapak tangannya, memasang wajah semelas mungkin agar Dewi luluh. Hasilnya sia-sia, Dewi tetap menggelengkan kepala.
Baylor menjatuhkan bokongnya kasar, lalu mengembuskan napas kesal. Ia meraih remot tv yang berada di hadapannya, sesekali menoleh pada Dewi yang sibuk berkutat pada laptop.
"Eh, sekarang minggu kedua, ya? Jadwal kamu transfusi darah, aduk kok bisa lupa gini sih." Dewi mungkin baru sadar, tidak dengan Baylor yang menyadarinya sejak pagi. Akan tetapi, lebih memilih untuk menutup mulut.
"Enggak, Baylor gak mau!" Ia bangkit dan segera melenggang pergi. Meninggalkan Dewi yang menghela napas panjang atas kepergian putranya.
Ia menaiki tiap anak tangga dengan gerakkan cepat, takut mamahnya itu mengejar. Walau Baylor tak merasakan ada seseorang yang mengikutinya, ia tetap waspada.
Dibukanya pintu kamar dan dibantingnya untuk tertutup kembali, tidak ada yang berhasil membuat perasaan Baylor menjadi baik sejak bangun tidur sampai detik ini. Semua orang rasanya mengajak ribut, sekali pun mamahnya sendiri.
Melamun di balkon sambil mendengarkan musik, sepertinya cocok. Ditambah langit mulai menampakkan jingga keungu-unguannya, senja selalu datang di waktu yang pas. Baylor berterima kasih sebentar.
Ia memasang earphone yang tersambung pada telepon genggamnnya, lalu memutar lagu yang belakangan ini Baylor sering dengar. Lagu indie lokal berjudul Sesuatu di Jogja yang berhasil menyihir siapa pun yang mendengarnya agar merasa tenang.
Karena sejatinya ketenangan itu dirasakan, bukan dicari. Begitu pun dengan kebahagiaan. Dua hal sederhana yang Baylor pilih, yakni musik dan senja bisa membuat tenang dan bahagia dalam waktu sekaligus. Luar biasa.
Setiap mendengarnya, Baylor jadi ingin menginjakkan kaki di sana. Tanah Jogja yang katanya istimewa, katanya membuat cinta, katanya menghasilkan rindu. Baylor ingin membuktikannya sendiri, suatu saat nanti. Hingga kata 'katanya' bisa dihilangkan.
Kapan-kapan, ya.
Sampai di bait terakhir lagu tersebut bersamaan dengan mentari yang mengucapkan salam perpisahaan. Tidak lagi tampak oleh mata telanjang.
Baylor mengembuskan napas pelan, raganya mati. Satu pertanyaan yang terlintas dalam benaknya,
Saya ini hidup atau perlahan-lahan mati?
Ya, Baylor selalu bertanya pada dirinya sendiri. Tapi tak kunjung dapat jawaban. Kalian bisa bantu jawab? Setidaknya agar Baylor dapat tidur nyenyak, tidak lagi gusar memikirkan kondisi tububnya.
Atau mungkin, Baylor yang akan cari jawabannya sendiri. Ia harus bertanya pada seseorang yang tepat, tapi nanti. Jika ia benar-benar sudah siap.
Drrttt
Tiba-tiba lagunya terhenti karena ada panggilan masuk, ia terdiam sejanak membaca nama yang tertera di sana. Kirana.
[Hallo? Bay, kamu di sana kan?]
[Hallo?]
Tadinya Baylor ingin marah sebab 10 panggilan keluar tadi pagi baru dibalas sore menjelang malam ini, tapi suara Kirana di sebrang sana seketika mengurungkan niatnya.
"Iya, Baylor di sini. Bagaimana kondisimu di sana, Kirana?" tanya Baylor dengan nada gaya bicaranya yang dibuat-buat.
[Syukur kamu gak marah. Maaf banget tadi aku gak boleh sa--]
"Gak pa-pa, tunggu bentar. Gue otw ke sana."
Baylor memutuskan sambungan secara sepihak, bahkan sebelum Kirana menjelaskan kesalahannya.
Ia tidak perlu penuturan maaf itu, ia hanya mengingkan bertemu dengannya. Toh, daripada tranfusi darah, lebih baik Baylor berkunjung ke rumah Kirana.
Setelah memikirkan segala cara untuk kabur, pilihan terakhir jatuh pada jendela. Samping rumah lelaki itu taman dan ada tangga bambu yang Baylor bisa gunakan. Ayolah, ia ini lelaki masa begitu takut?
Tidak, Baylor diam karena menyesali perbuatannya di kelas yang sering mengacuhkan pelajaran fisika. Kondisi seperti ini seharusnya sebagai anak MIPA, ada bayangan sedikit bagaimana caranya untuk turun. Ah persetan, turun tinggal turun.
Bukan demi Kirana, melainkan demi menghindar Dewi yang mengajaknya tranfusi darah.
Dengan gerakan hati-hati, ia menuruni tiap anak tangga. Sesekali was-was ke atas, takut tiba-tiba ada mamahnya. Tapi syukur, sampai pijakkan terakhir ia selamat.
Karena menaiki motor sangat tidak memungkinkan, Baylor pun memutuskan untuk berjalan keluar kompleks. Ia menunggu angkutan umum lewat di sana.
Kurang lebih lima menit baru ada yang mau mengangkutnya. Angkot-angkot sebelumnya selalu penuh muatan.
Itu pun Baylor terpaksa duduk di kursi dekat pintu, posisinya yang menghadap belakang, membuat kepala lelaki itu mendadak pusing. Belum lagi para penumpang lainnya seolah menjadikan Baylor sebagai objek satu-satunya karena posisi yang 'strategis'.
Ia merutuki ini semua. Kalau begini caranya, mending merelakan diri mengikuti perintah mamahnya.
Selama di perjalanan, Baylor mengurangi rasa pusingnya dengan menyorongkan posisi duduknya.
Seorang anak kecil yang berada dalam pangkuan ibunya tiba-tiba menceletuk, "Bu, kakak itu sakit!"
Atensi seluruh penumpang kembali lagi kepada Baylor yang membalas dengan senyuman tipis.
Apa gue pucet ya?
Baylor mencoba mengulum bibirnya, mungkin akan sedikit memberi efek segar.
"Bang, depan kiri!" ujar lelaki itu ketika angkutan yang ditumpanginya hampir tiba di depan sebuah gang-an.
Ia turun dan memberikan selembar uang.
"Gak ada uang kecil?" tanya si supir yang merangkap sekaligus menjadi kenek, begitu melihat uang yang disodorkan Baylor nominalnya terlalu besar. Lima puluh ribu, padahal angkot sendiri kisaran tiga ribu sampai lima ribu.
Baylor menggeleng, mau tidak mau si supir membuka gepokkan uang yang sudah rapi dililit karet itu.
"Lain kali kalau naik angkot uang kecil, kasihan itu buat setoran." Setelah berpesan, angkutan itu melaju di hadapan Baylor yang menganggukkan kepala.
Ia menatap sebentar gapura pintu masuk di depannya, tanpa ragu langsung berjalan memasukinya.
Namun, baru beberapa langkah berjalan, saku celananya bergetar. Panggilan dari Mamah itu tidak bisa Baylor tolak.
[BAYLOR! Kamu di mana?! Siapa yang udah ngajarin kamu kabur-kaburan gini? Share lock sekrang juga mamah mau ke sana!]
Ia menjauhkan sedikit jangkauan ponsel dari telinganya, lalu tidak lagi terdengar suara Dewi.
Tuttt ... tutt ... tuttt....
Embusan napas pasrah Baylor lakukan, padahal hanya beberapa langkah lagi ia sampai di rumah Kirana. Hmm, apa Baylor tetap ke sana saja untuk menunggu mamahnya menjemput? Tidak bisa, Dewi akan salah paham.
Lebih baik menunggu di sini, berdiri depan gapura, sendiri. Menyaksikan kendaraan yang berlalu lalang. Hingga satu di antara kendaraan itu adalah mamahnya.
🌠Bersambung
Next gak wkwk❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Baylor [Completed]
Ficção AdolescenteBEST RANK : #3 literasiindonesia 21 Juni 2020 #1 literasiindonesia 6 Juli 2020 Baylor itu enggak bakal main-main kalau ada orang yang berani ngusik kehidupannya. Dia itu sosok yang susah ditebak, bahkan dirinya sendiri juga masih bingung. Sama bing...