[20] Rehat

210 18 0
                                        

Sudah tahu kan Baylor pergi ke mana? Tentu saja rumah Restu. Tempat itu Baylor datangi malam-malam setelah beberapa jam ia habiskan waktu untuk menenangkan diri di Danau Cincin yang sempat Nata beri tahu waktu itu.

Kalau Nata ke sana pasti ditemani Jihan, lain halnya dengan Baylor yang seorang diri. Ia mana mungkin mengajak Kirana yang sudah dibuat menangis tadi sore. Bahkan, ia belum mengucapkan permintaan maaf pada gadis itu. Semoga saja Kirana bisa memahami keadaan.

"Anak-anak udah pada otw, gue ke minimarket bentar mau beli makanan." Restu pamit sembari memyambar kunci motor di atas nakas, sedangkan Baylor mengangguk tenang.

Ia beranjak menuju balkon, seperti biasa angin malam menyambutnya sendu. Namun, untuk malam ini bintang tidak terlihat di langit Jakarta. Seluas mata memandang hanya pancaran lampu-lampu jalan yang membuat Baylor menopang dagu, diam menyaksikannya.

Hampir 17 tahun hidup, Baylor belum pernah tuh merasakan yang namanya tenteram. Masalah silih berganti yang akhirnya menumpuk, padahal menyelesaikannya satu per satu butuh waktu yang lama dan sulit.

Baylor tahu ucapannya terlalu sarkas sebagai seorang anak kepada orangtua, tapi ia hanya mengungkapkan kebenaran. Bahwa Dewi belum berhasil menjadi seorang ibu.

Dengan gerakan perlahan matanya terpejam. Basah. Gawat, ia membuka kelopak matanya cepat. Blur. Ia baru saja menangis, bagaimana kalau mereka datang dan menyaksikan Baylor kalah dengan air mata? Ia pasti malu.

Lantas punggung tangannya lelaki itu pergunakan untuk mengelap air mata. Ketukan pintu mulai terdengar, itu pasti mereka. Tanpa dibuka, mereka lebih dulu masuk. Enggak ada akhlak, tapi berhasil mencetak senyuman tipis di bibir lelaki itu.

"Lah kenapa lo senyam-senyum gitu, Bay? Jadi takut gue." Jefri bergidik ngeri membayangkan yang tidak-tidak.

Seketika Baylor semakin ingin memberi predikat otak terkotor jatuh kepada Jefri.

"Astagfirullah, Bay. Lo baca Kisah Nabi Luth kan?" timpal Gery dengan pertanyaan islami.

Belum lengkap, Nata pun ikut-ikutan sebagai penutup, "Gak nyangka gue, Bay."

Sudah cukup, Baylor menatap mereka bergantian dengan jengah. Lalu membalikkan badan kembali menuju balkon. Langkahnya terinterupsi oleh Gery yang menyeru untuk ke rooftop.

Ia pun mengikuti mereka dari belakang. Keempatnya seperti menunggu orang yang sama, yakni Restu yang tak kunjung datang. Tuan Rumah yang berkewajiban memperlakukan tamu-tamu ini bak raja. Menyiapkan makan contohnya.

"Minimarketnya di Hongkong gue rasa," celetuk Gery, tidak sabaran.

Sama seperti Jefri yang menunggu sambil menghitung waktu di jari-jemarinya, kalau sudah habis cowok itu meminjam jari Baylor dan Nata. Plus kesepuluh jari kaki mereka. Tidak ada kerjaan.

"Sambil nunggu Restu, gue mau ngasih pertanyaan nih." Jefri melepas hitungannya yang sia-sia.

Baylor menatap penasaran tentang bunyi pertanyaan Jefri, "Apa?"

"Bayangin lo lagi di tengah hutan sendiri,  terus lo denger suara-suara aneh, auman serigala, cekikikan kunti, dan yang paling bikin lo merinding banyak yang bilang hutan itu suka makan korban. Apa yang bakal lo lakuin?!" Cowok itu berseru dengan semangat, kemudian menatap remeh mereka yang pasti tidak tahu jawabannya.

Mereka memutar otak.

"Lama!" sungut Jefri dengan sebal. "Masa kayak gitu aja gak tahu," ujarnya kembali meremehkan.

Gery menatap Baylor, "Bay, lo kan anak OSN." Dipikir matematika belajarnya begituan.

"Ck, udahlah nyerah," seru Nata ikut-ikutan kesal.

Baylor [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang