[8] "Ada Mamah."

326 23 1
                                    

Lebih baik menunggu di sini, berdiri depan gapura, sendiri. Menyaksikan kendaraan yang berlalu lalang. Hingga satu di antara kendaraan itu adalah mamahnya.

Tidak cukup lama untuk menunggu, sebuah mobil sedan berwarna kelabu yang dikendarai Dewi berhenti di hadapannya.

Baylor segera naik sebelum kendaraan lain di belakangnya memberi klakson tak sabar, kalian tahu kan orang Indonesia itu gimana? Tidak sabaran. Terutama para pengendara motornya yang rela menyalip-nyalip.

"Untung mamah ngecek tanggal, kamu kenapa gak ngasih tahu, sayang?" Sambutan yang kacau, ia bersungut di samping mamahnya.

Baylor memakai sabuk tanpa berniat menjawab pertanyaan itu, Dewi kembali mengangkat suara, "Apa kamu gak mau sembuh?"

Glek.

Ia menelan salivanya sendiri, kata sembuh yang seolah-olah hanya menjadi omong kosong belaka. Mana buktinya? Kapan?! Lelah, satu kata yang mewakili lelaki itu. Kalau dari dulu kesembuhan ada di depan mata, ya tapi mau sampai kapan ia menunggu?

Butuh berapa lama lagi Baylor sabar dan bertahan?

Dewi menoleh dengan tatapan meneduhkan yang membuat Baylor rasanya ingin menangis saja. Ia tahu, bukan hanya dirinya yang merasa lelah, tapi semua orang yang mengurusinya. Sepatutnya Baylor bersyukur, masih ada mereka.

Tidak bisa membayangkan bagaimana kalau ia sendiri.

"Mah," panggil Baylor, "apa bener kalau sakit itu bisa nyamber?"

Wanita itu mengembuskan napas pelan. Mengalihkan tatapan ke depan sebelum menyahut, "Bisa,  ada beberapa penyakit  genetik turunan dari orangtua."

Sudah tahu arah pembicaraan mau dibawa ke mana, Dewi mengganti topik. "Ouh iya, kamu ngapain tadi di sana? Mau ke rumah siapa?"

Sekakmat.

Sekarang giliran Baylor yang mengalihkan pembicaraan dengan menyetel radio di dashboard mobil. Pura-pura mendengarkan sang pembawa berita dengan seksama agar tidak lagi dihujani pertanyaan-pertanyaan. Meski ia sebenarnya sama sekali tidak peduli bagaimana kondisi dunia di luaran sana.

"Bulan depan papah pulang, kamu gak mau nyiapin kejutan?" Pertanyaan bodoh macam apa yang Baylor dengar di tengah-tengah perjalan menuju rumah sakit. Semestinya pertanyaan itu tidak ditujukkan untuk Baylor, melainkan untuk Dewi seorang.

Ia bertanya pelan dengan kejengkelan ekstra, "Kejutan?" Baylor membuang wajah keluar jendela, benar-benar tidak habis pikir dengan isi kepala Dewi.

"Kamu gak boleh terus-terusan egois, Bay." Kalimat tersebut adalah penutup percakapan keduanya, sampai tiba di rumah sakit yang dituju.

Memang, berdiam-diaman dengan lawan bicara itu tidak mengenakkan, tapi Baylor sudah terlanjur kesal mamahnya bicara seperti itu. Seolah dirinyalah manusia paling bersalah yang ada di bumi.

"Kamu tunggu di tempat biasa gih, mamah mau registrasi dulu." Dewi membelokkan diri, sedangkan Baylor terus berjalan menyusuri lorong.

Netra Baylor bergerak lincah, menyapu lorong dari ujung sampai ujung. Ia menemukan postur tubuh seseorang yang dari belakang sangat mirip dengan Armella.  Ada keperluan apa gadis itu di sini?

Mendadak ada yang menggerakkan kaki Baylor untuk menghampiri gadis itu.

Baylor berdehem untuk menunjukkan eksistensinya karena Armella yang percis membelakangi lelaki itu.

"Baylor?" Armella agak kaget, Baylor terkekeh kecil.

"Armella?" Ia mengikuti nada bicara gadis itu dan lengannya menjadi sasaran pukulan Armella yang refleks.

Baylor [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang