[34] Semesta yang Membiru (3)

137 17 0
                                    

Baylor berlutut di sini, setengah jam lamanya tanpa mempedulikan orang-orang di sekitarnya. Tidak ada yang berhasil membujuk lelaki itu, bahkan seorang gadis yang bernotabene menjadi mantan kekasihnya sendiri pun tak mampu.

"Sayang, ayo pulang." Suara lembut tersebut menggetarkan mebran timfani di telinganya. Namun, sekali lagi, hasilnya sia-sia. Ia tetap setia pada posisinya, berlutut tak bicara dengan tatapan kosong.

Hingga sebuah tangan melingkar manis merangkulnya dari belakang, Baylor menepis cepat. Mendelik ke arah Kirana yang bisa-bisanya seperti itu.

"Semua tahu ini berat buat lo, tapi lo gak boleh terus-terusan gini." Gadis itu masih berusaha meluluhkan benteng pertahan lelaki itu.

Dewi pun menambahi, "Iya, kamu harus terima ini."

Atensi lelaki itu sepenuhnya tertoleh pada mamahnya yang tadi bicara, tidak habis pikir akan mendapat ucapan sedemikian rupanya. Netra yang semula kosong, kini menjadi alat untuk membunuh.

"Mamah diam atau Baylor akan membenci mamah selamanya!"

Sedetik kemudian, Baylor tersadar apa yang baru saja ia katakan. Bukankah Bi Tuti sudah berpesan lewat suratnya untuk tidak membentak mamahnya itu? Oh ayolah, Baylor ini kenapa? Hanya dalam satu malam sikapnya bisa berubah.

Bimo mengajak Dewi untuk pergi, tidak mau lagi ada keributan. Kedatangan mereka malah membuat pihak keluarga Bi Tuti menjadi resah dan risih.

Kirana setia di tempatnya, gadis itu selain membujuk Baylor untuk pulang, juga memayungi lelaki itu dengan payung berwarna hitam. Melambangkan duka cita.

"Tinggalin gue sebentar," pinta Baylor tanpa melepas tatapannya pada nisan di hadapannya.

"Enggak," tolak Kirana, tidak mau meninggalkan Baylor seorang diri di kondisi yang seperti ini.

"Gue bilang tinggalin, ya tinggalin!" bentaknya kembali emosi, yang pada akhirnya berhasil membuat Kirana takut dan mengikuti jejak Dewi dan Bimo.

Ketiganya berdiri di depan mobil, memandang Baylor dari jarak yang cukup jauh. Tampak Baylor sedang berdoa, lalu setelahnya mencium nisan Bi Tuti dalam-dalam.

Tanpa diduga, lelaki itu bangkit. Mereka tersenyum lega, menyambut Baylor yang datang dengan menundukkan kepala.

Ia menangis, mana mungkin menunjukkan wajahnya yang menyedihkan itu?

Bimo memberi arahan pada mereka untuk segera naik, meski menyesakkan Baylor ikuti arahan papahnya itu. Sebagaimana saat berangkat ia duduk di samping Bimo, maka berlaku untuk pulang.

Mobil tersebut memelesat meninggalkan pemakaman, sebelumnya mereka sudah sekalian pamit ketika hendak ke sini. Jadi, tidak perlu lagi mampir ke rumah almarhumah dan bisa langsung ke Jakarta.

Setidaknya pemandangan Gunung Ciremai yang tampak dekat, berhasil menenangkan sedikit hati lekaki itu begitu ia memandanginya sejak tadi. Desa kecil tempat Bi Tuti tinggal memang terletak di kaki Gunung Ciremai yang terkenal di Jawa Barat.

Kesejukkan pagi bisa mereka rasakan puas-puas, begitu Bimo sengaja membuka tiap jendela di mobilnya.

Baylor menghirup oksigen di sekitarnya, mengembuskannya pelan-pelan. Ia menoleh pada Bimo, "Kurangin lajunya, Pah."

Bimo mengangguk tanpa banyak bicara.

Dengan demikian, Baylor dapat berlama-lama menikmati pemandangan desa. Hamparan sawah seluas mata memandang berwana kehijauan yang bagus untuk mata. Begitupula senyum-senyum ramah orang asing yang tak sengaja berpapasan menjadi ciri khas tersendiri di desa ini.

Baylor [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang