[41] Accept

149 11 2
                                    

Tidak ada yang Baylor lakukan selain mengelap-ngelap kaca spionnya menggunakan tissue galon yang tiba-tiba Jefri berikan untuknya, enggak ada hujan enggak ada angin Jefri membagi-bagikan mereka benda tersebut secara merata. Satu anak dapat satu.

"Galon di rumah lo ada banyak ya, Jef?" tanya Restu.

"Enggak, cuma satu," jawab Jefri, "tapi pas ngisi galon, gue dikasih banyak sama abangnya. Karena gue baik, gue kasih lagi ke kalian biar berkah."

Restu mangut-mangut. Tidak dengan Baylor, Gery, dan Nata yang tampak pusing pada tingkah dua anak sebangku itu yang semakin hari semakin aneh.

"Tapi lumayan, Jef. Kaca spion gue jadi kinclong!" seru Baylor.

Jefri menepuk dadanya bangga.

Kemudian, atensi mereka tertoleh kompak ke arah koridor. Begitu derap langkah kaki mulai terdengar yang mana pemiliknya adalah seorang gadis dengan kepala yang menunduk.

Kirana mendekat dengan langkah lamban, seluruh energinya seolah terkuras padahal hanya untuk berjalan dari kelas sampai parkiran. Baylor menggertak gadis itu untuk cepat, karena keberadaannya sudah cukup lama di sini. Menunggu 10 menit sampai gadis itu akhirnya menampakkan diri.

"Ma--maaf, tadi habis piket," ujar Kirana terbata.

Baylor mengembuskan napas pelan, ia turun dari motornya. Menuntun Kirana untuk duduk di salah satu bangku yang pihak sekolah sediakan, tetap berada dalam jangkauan teman-temannya itu.

"Gue sengaja ngajak mereka, enggak usah nanya kenapa," ujar lelaki itu membuka percakapan.

Kirana menyahut, "Iya."

Ia menggenggam jari-jemari Kirana yang ditaruh di atas tungkai atas gadis itu, merasakan perbedaan yang kentara. Jika biasanya hangat, kini dingin seperti es batu.

"Habis megang es? Piketnya di kantin apa di kelas?" tuduh Baylor tersenyum smirk, kedapatan gadisnya berbohong menurut pandangannya.

"Bukan, gue dingin karena takut," sahut Kirana jujur.

Baylor menautkan kedua alisnya, "Takut sama jawabannya?"

Kali ini hanya anggukkan kecil sebagai balasan.

Sementara itu, yang lain terus menyaksikan mereka tanpa berkata apa-apa. Sebab, sudah dibuat perjanjian barangsiapa yang merecoki pada saat Baylor menolak Kirana, maka akan diberi hukuman. Ringan saja, mentraktir mereka makan-makan.

Gery yang gemas tidak karuan hanya menggerogoti bungkus basrengnya. Iya, tahu itu jorok. Tetapi, harus melakukan apa lagi?

Nata lebih memilih bermain ponsel, tetapi tetap memasang telinga. Jefri? Restu? Tidak ada tanda-tanda dua cowok itu hidup, selain bernapas.

Baylor tertawa renyah. "Enggak usah takut, gimana kalau hasilnya bikin kecewa? Gue enggak mau lihat lo sampai nangis," tutur lelaki itu.

Udahlah, alamat ini mah, racau Kirana dalam hati.

Baylor melepas genggamannya untuk bertumpu di pundak gadis itu. Ia menatap Kirana lekat, menemukan harapan dan keraguan yang bersamaan. Bibirnya mulai meluncurkan kata-kata dengan bebas, "Sorry, gue enggak bisa."

Setelah itu, ia beranjak dan tidak menghiraukan kelopak mata Kirana yang menampung banyak air mata. Sudah dipastikan, Kirana akan menangis. Namun, untuk kondisi yang sekarang, ia tidak bisa berbuat apa-apa selain pergi.

Keempat teman Baylor bersiap menjalankan motornya, sedangkan Baylor menaiki motornya sendiri. Bukan untuk hari ini saja, melainkan untuk hari-hari berikutnya. Jok penumpang akan selalu kosong.

Baylor [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang