Chapter 4

3.3K 415 19
                                    

Anindira Maheswari

"OMG gue udah gila! Udah gila! Udah gila!" aku berjalan mondar mandir sambil berulangkali mengucapkan kalimat itu semacam mantra yang kuharap mampu membuat pesan yang barusan aku kirim itu gagal sampai ke sang penerima. "You are the devil, Anindira!" aku memaki diriku sendiri yang sudah dengan beraninya mengirim pesan dengan nada menggoda pada pria yang aku bilang bukanlah tipeku. Ada apa denganku? Mau hunting pemandangan menakjubkan lagi di Bali selain aku?

"Yuck!!!" aku tiba-tiba merasa mual.

Aku melirik ponselku dan ini sudah setengah jam dan dia tidak membalasnya. Mungkin dia juga mulai jijik denganku, pikirku. Aku memutuskan untuk kembali ke layar laptopku dan kembali meneruskan membuat proposal. Namun pikiranku tidak benar-benar bisa fokus karena aku terus melirik ponselku berharap sebuah pesan masuk di sana. Oke, aku hanya berharap sebuah balasan yang tidak cukup membuatku malu. Huh, harusnya aku tidak punya malu bukan? Aku pernah dengan sengaja memamerkan tubuhku di pertemuan serius pertama kami.

Ponsel berbunyi dan membuatku hampir terlonjak. Aku menyambar benda itu dan membukanya.

Nin, kita tunggu kamu di Barometer. Jangan telat

"Shit!" makiku saat tahu kalau pesan itu datang dari Kikan dan bukan dari orang yang kuharapkan. Aku memilih mengubah ponselku menjadi mode senyap dan melempar benda itu begitu saja ke atas ranjang. Aku mencoba untuk kembali fokus ke proposalku. Sesekali melirik beker di depanku memastikan aku tidak terlambat untuk janji makan siang dengan Kikan, Tari dan Bima.

Satu jam kemudian, aku melenguh pelan saat menatap layar ponsel yang hanya berisi notifikasi-notifikasi tidak penting. Penyesalanku semakin besar dengan keputusanku untuk membalas pesannya dengan kalimat panjang. Harusnya ucapan Thank You sudah cukup.

Aku meninggalkan kontrakanku menuju Barometer dan menyadari kalau aku sudah terlambat hampir lima belas menit dari janji kami. Makan siang ini sekaligus meeting dengan Tari dan Bima yang sebentar lagi akan menikah. Aku mengenal Tari dan Bima saat awal-awal aku tinggal di Bali. Bebarapa tahun lalu mereka bisa dibilang teman nongkrongku, termasuk dengan Kikan. Dan tentu saja saat itu aku masih mesra bersama Bagas.

"Kija gen, kali jani mara teka? (Kemana aja jam segini baru datang?)" Tari menyambutku dengan pelukan. Mungkin sudah hampir setahun kami tidak bertemu.

"Sorry, baru selesai buat proposal." Aku melambai ke arah Bima di depanku dan mengambil tempat di sebelah Kikan.

"Nyegegang gen kamu, Nin (Tambah cantik kamu, Nin.)."

"Huh! Lebih menyenangkan ternyata mendapat pujian dari laki-laki yang mau menikah. Tedengar lebih tulus. Thank you, Bim." Ucapku dengan senyum lebar. Tari hanya berdecak kemudian tertawa dengan kata-kataku merespons pujian calon suaminya.

"Kamu nggak berubah Nin." Ujar Tari.

"Gue masih Anin yang dulu." Aku mengedip ke arahnya.

"Udah yuk, pesan makan. Udah laper nih." Kikan menyodorkan buku menu ke arahku. Dan kami makan siang sambil bercerita tentang masa-masa kami sering nongkrong bersama di Seminyak dan tentu saja cerita itu tidak lepas dari pembahasan tentang Bagas.

"Dia udah nggak mau tahu tentang Bagas." Kikan memperingatkan Tari dan Bima saat mereka dengan tanpa beban mengangkat lagi kisah aku dan Bagas dulu.

"Nggak apa-apa sih kalau untuk mengenang kembali masa-masa itu. Gue hanya nggak mau tahu tentang dia sekarang." Aku menggeleng sambil menghabiskan suapan terakhir spaghetti aglio e olio favoritku.

"Serius?" Bima memandangku dan aku hanya mengangguk. "Bukannya dengan begitu artinya kamu masih punya rasa sama Bagas?"

"Begitukan teorinya?" kedua alisku bertaut melihat Bima. Tari menyikut perut Bima memintanya untuk tidak membahas lebih lanjut.

I Found YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang