Dimas Agastya
Untuk beberapa detik aku terdiam dan kembali memandang Anin yang masih belum melepaskan pandangannya dariku dengan bola mata yang berkaca-kaca. Aku memejamkan mataku sejenak mencoba mengingat lagi kata-kata apa yang baru saja keluar dari mulutku. Aku menghembuskan napas pelan. Tanganku bergerak menggapai tangan Anin yang terkulai di samping tubuhnya, tapi ia bergerak mundur. Tangannya naik menyeka matanya yang basah.
"Tega banget kamu ngomong kayak gitu." Ucapnya dengan suara serak.
"Aku minta maaf." Kini aku berdiri mendekatinya namun sekali lagi ia mundur selangkah. "Nin, aku minta maaf. Aku sungguh nggak bermaksud bersikap brengsek seperti tadi."
"Tapi kamu sudah nyakitin hatiku, Ga. Seharusnya kata-kata itu nggak keluar dari mulut kamu."
"Aku tahu! Aku salah!" Aku tertunduk kesal pada diriku sendiri. Aku benar-benar tidak pernah ingin menyakiti Anin. Selama enam bulan ini hubungan kami jauh dari pertengkaran, kecil sekalipun. Kami berdua benar-benar menikmati setiap detik dari hasil manis perjuangan kami, khususnya Anin. Kami tidak ingin mencederai sedetikpun waktu kebersamaan kami. Tidak harus ada salah paham lagi.
"Aku hanya..." Ia terdiam. "Cerita Mama. Tangisannya. Aku nggak mau membela diri, Nin."
"Aku tahu. Aku tahu kata-kata Oma bisa sangat menyakitkan. Aku tahu apa yang mungkin dirasakan Mama kamu. Aku ngerti." Anin masih bertahan dengan posisi kami yang masih berjarak.
"Ya. Aku..."
"Sebaiknya kamu pulang. Terimakasih buat makan siangnya. Aku hanya mau tidur." Anin beranjak meninggalkanku dan masuk ke kamarnya. Aku masih bertahan di posisiku, masih dengan penyesalan. Emosiku yang sesaat tadi sudah merusak kebersamaan kami siang ini. Selama dua hari aku memendam amarah pada keadaan. Pada situasi yang selalu saja ingin memisahkan aku dan Anin. Tangisan Mama saat mengingat kembali setiap kata-kata yang keluar dari mulut Nyonya Bratadikara membuat hatiku ngilu. Untuk sesaat aku merasa kecil di hadapan keluarga Anin. Untuk sesaat aku seperti kehilangan harga diri, karena kehidupan mendiang ayahku diusik. Aku marah. Tapi sungguh aku tidak marah pada Anin. Aku sangat mencintainya.
Aku memutar tubuhku dan melangkah cepat ke kamarnya. Sesampainya di bibir pintu aku menahan langkah, memandang Anin yang bergelung di atas ranjangnya dengan mata terpejam. Aku tahu dia sedang tidak tidur.
Perlahan aku mendekatinya.
"Aku sudah bilang aku pengen sendiri, Ga. Kamu pulang ke kantor." Dia berkata dengan mata yang masih terpejam.
"Maafkan aku, Nin. Lihat aku dan bilang kamu mau memaafkan aku."
"Aku sedang nggak ingin berdebat. Kepalaku masih pusing. Aku mohon, Ga."
Aku mengangguk samar dan memutuskan untuk memenuhi permintaannya. Aku melangkah ke luar.
***
Anindira Maheswari
Sudah seharian aku mendiamkan Agastya. Aku hanya masih menyimpan kesal padanya, meski aku sama sekali tidak sepenuhnya menyalahkan sikapnya. Aku tahu emosinya sedang terpicu karena cerita Ibunya. Aku tahu situasi yang mungkin dialami ibunya, karena aku sangat mengenal Oma. Anak mana sih yang tidak akan terluka bila orangtuanya dinilai secara tidak adil oleh orang lain?
Beberapa pesan dan telepon Aga masih kuabaikan. Aku sedang bersiap menuju Seminyak untuk bertemu Adrian. Laki-laki itu terdengar sangat menyenangkan saat berbicara di telepon, ia benar-benar menunjukkan kesan bahwa kami pernah dekat meski mungkin masing-masing kami sudah tidak terlalu mengingat detil kebersamaan kami semasa kami kecil dulu.
Aku mengedarkan pandanganku ke setiap sudut kafe yang belum terlalu rame menjelang tangah hari. Pandanganku terantuk pada sosok laki-laki yang duduk sendirian di salah satu meja. Suara hatiku memastikan kalau laki-laki itu adalah Adrian meski aku sama sekali belum sempat melihat foto terkininya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Found You
RomantikAnindira Maheswari menjadikan Dimas Agastya sebagai target jodoh yang akan ia bawa ke hadapan Ayahnya sebagai balas dendam. Ia tahu benar Agastya adalah kebanggan Ayahnya di perusahaannya dan dia tentu saja bukanlah perempuan tepat untuk Agastya di...