Chapter 6

2.9K 367 32
                                    


Renatta dan Dikta as Anindira dan Agastya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Renatta dan Dikta as Anindira dan Agastya


Dimas Agastya

Ini yang kusebut strategi mundur selangkah dan maju tiga langkah? Aku justru sama sekali tidak mundur, aku bahkan nyeruduk. Untung saja perempuan di depanku ini tidak mengusirku pergi karena muak mendengar segala kata-kata manis yang begitu mulus keluar dari mulutku. Aku benar-benar menjadi orang yang berbeda saat bersamanya. Tapi sungguh aku tidak pernah berusaha keras untuk itu, I am not someone with agenda. Berbeda karena punya maksud tertentu pada perempun ini. Semuanya mengalir begitu saja. Aku menjadi banyak bicara, aku punya stok kata-kata yang banyak, aku bahkan bisa merayu, ini gila. Sekarang gayaku layaknya seorang don juan. Lalu dari mana munculnya bakatku yang tiba-tiba ini? Kemana bakat ini sebelum-sebelumnya.

"Bisa kita bicara lagi setelah aku pulang dari Jakarta?"

Ia tidak merespon kata-kataku. Tak ada ekspresi di wajahnya yang bisa kuterjemahkan apakah ia setuju atau tidak dengan permintaanku.

"Kamu memutuskan kekasihmu hanya untuk bisa mengejarku yang sama sekali nggak punya perasaan sama kamu? You are a jerk!" dia bersedekap sambil memandangku.

"Oke terserah kamu mau berpikir apa tentangku." Kataku tak peduli dengan sebutannya padaku yang kurasa sangat tidak adil.

"Aku nggak akan mengijinkanmu mengejarku setelah kamu menyakiti perempuan lain." Dia mengultimatumku.

"Kami nggak pacaran, Anin." Akhirnya aku mengatakan kebenaran dari sisiku. "Setidaknya aku berpikr seperti itu."

"Aku nggak ngerti." Dia menggeleng masih dengan senyum sinis menggangtung di bibirnya.

"Aku memang menyukainya tapi aku belum sampai pada titik untuk mengatakan cinta padanya, namun malam itu dia menciumku dan..."

"Wow!" Senyum sinisnya ke arahku terasa semakin memojokkanku. Baiklah mungkin ceritaku ini membuat dia semakin buruk menilaiku tapi aku tidak peduli.

"Karena itu aku hanya ingin pulang dan meluruskan semuanya, Nin." Lagakku sekarang seperti seorang laki-laki yang sedang membujuk kekasihnya yang marah karena cemburu.

"Kamu memberinya harapan dan kemudian kamu mengecewakannya. Kalian laki-laki memang suka seenaknya." Kata-katanya yang kini terdengar sinis.

"Bukannya perempuan yang sering seperti itu?"

"Oh ya?" Dia memicingkan matanya memandangku dengan ekpresi tidak percaya. Aku kembali menurunkan poinku di hadapannya dengan bersikap seksis untuk membela diriku. Tapi aku bicara berdasarkan pengalaman. Dulu aku sering merasakan yang namanya sekadar diberi harapan oleh banyak perempuan dan berakhir mereka akan jatuh ke pelukan laki-laki lain. Posisi perempuan sebagai yang dikejar selalu membuat mereka tidak menyadari saat sikap mereka justru memupuk harapan kami para lelaki.

I Found YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang