Chapter 18

2.5K 327 27
                                    

**Hi maaf kl nemu typo ya karena nggak sempat edit. Selamat membaca dan jangan lupa vote dan komen kalau suka sama ceritanya. Thank U!

Anindira Maheswari

Aku melemparkan ponselku begitu saja ke atas meja yang menimbulkan bunyi yang cukup keras. Seharusnya aku memang tidak melampiaskan kekesalanku kepada benda itu namun seringkali emosi mengalahkan pikiran sehat.

Bekerja sendirian sepertiku ada kalanya membawaku pada satu titik jenuh yang teramat sangat apalagi bila berhadapan dengan orang-orang yang sudah mudah terbaca karakternya. Bisa kubilang bekerja di bidang ini membuat kemampuanku membaca orang semakin terasah. Menghadapi berbagai macam klien dengan segala tingkah, pola dan keinginannya seringkali menghibur namun seringkali juga menguji kesabaran.

Pagi ini aku sudah dibuat kesal oleh beberapa klien dan calon klien. Salah satu klienku seorang perempuan dari Jakarta yang berencana menikahkan anaknya di Bali tiba-tiba meminta banyak perubahan dalam dekorasinya padahal sudah aku tekankan sejak awal meeting bahwa mereka harus benar-benar membaca proposalku sebelum mengatakan setuju. Tapi pada umumnya klien memang sering malas membaca dan akhirnya berujung pada permintaan perubahan di sana-sini yang membuatku pusing.

"Bu, ibu tahu kan yang sudah saya bilang di awal waktu meeting? Kalau perubahan-perubahan yang diajukan mendekati hari H itu akan sulit sekali dipenuhi. Dan kalau ibu membatalkan yang pasti Down Payment-nya akan hangus." Kataku tegas.

"Oh begitu ya...aduh bagaimana ya?"

Begitulah. Tidak mudah memang bekerja di bidang jasa saat harus mengadapi berbagai macam watak orang khusnya yang menyebalkan. Aku sudah menebak perempuan ini akan berulah sejak pertemuan kami pertama kali.

"Mbak Anin, maaf ya aku mau batalin wedding-nya." Satu klien asal Surabaya menelponku dengan tangisan.

"Waduh kenapa Mbak?" aku cukup kaget mengingat pernikahan mereka akan dilaksanakan minggu depan.

"Laki-laki itu selingkuh." Dia kembali menangis. "Saya bisa dapat duitnya balik nggak?" sambungnya masih dengan terisak.

"Um...oke. Tapi maaf Mbak, saya hanya bisa mengembalikannya sekitar 30 persen. Mbak tahu kan perjanjiannya? Soalnya yang 70 persen sudah saya pakai buat bayar supplier dan freelancer Mbak." Jawabku dan tangisannya bertambah kencang.

"Kurang ajar si Dave. Pantesan dia nggak mau keluarin duit sepeser pun buat wedding. Habis semua duitku." Ia menjerit dan menangis diujung sana. Aku terduduk lemas. Sebuah telepon kembali masuk.

"Mbak Anin, aku tuh pengen wedding-nya elegan gitu tapi low budget lah. Bisakan ya diusahain. Aku dengar Mba Anin jago loh untuk urusan ini." Seorang klien lagi meneleponku. Saat mendengar kata-katanya kepalaku mendadak pening bagaimana mereka bisa menerjemahkan pekerjaanku seperti itu, sejak kapan aku bisa membuat pernikahan elegan dengan biaya murah. Dimana-mana sudah paten hukumnya ada uang ada barang. Permintaan ini ibaratnya lo minta BMW dengan harga Suzuki Carry.

Dan begitulah cerita pagiku yang membuatku cukup emosi dan melampiaskan pada ponsel kesayangan. Masalah pekerjaan sudah menyita sebagian besar otakku di pagi ini. Aku butuh kopi dan seperti biasa Kikan come to the rescue.

"Morning." Dia sudah menjerit dari depan pintu.

"God, thank you!" balasku sambil mengangkat kedua tanganku ke atas,

"Kopi buat nona Anin." Ia meletakkan kopi favoritku di meja di depanku.

"I love you, Kikan." Aku memberinya kecupan dai jarak jauh dan dibalasnya juga dengan kecupan.

I Found YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang