Chapter 8

2.9K 403 20
                                    

Anindira Maheswari

Aku tidak menyangka Agastya berani menciumku. Seharusnya aku menamparnya tadi karena dia sudah memanfaatkan kelemahanku. Ya, dia sudah mengambil keuntungan dari kesedihanku. Kini otak dan hatiku mulai berperang. Otakku terus-terusan menyalahkan Agastya namun hatiku justru bekata sebaliknya saat kata-kata 'sampai bertemu besok' keluar dari mulutku.

Apakah aku berdebar saat ia menciumku tadi? Entahlah karena aku tidak sempat 'merasakannya'. Ciuman itu begitu cepat. Agastya bergerak sangat cepat persis pencuri yang sudah ahli. Aku tidak tahu bagaimana cara membaca laki-laki itu. Setiap kali bersamanya aku selalu dikejutkan olehnya. Aku selalu tidak siap dengan apa yang keluar dari mulutnya atau bahkan apa yang akan ia lakukan padaku. Seperti tadi.

Entah kenapa tanganku bergerak sendiri menyentuh bibirku. Apa yang harus aku lakukan pada laki-laki itu? Aku yang awalnya dengan sengaja melemparkan diriku ke hadapannya dan sekarang aku yang terjebak dalam permainanku sendiri.

Aku mencoba membuang jauh-jauh pemikiranku tentang Aga dan mencoba untuk tidur. Hari ini aku sudah cukup lelah dan tidur yang cukup tentu akan lebih membuat pikiranku lebih fresh untuk menghadapi esok hari. Termasuk menghadapi Agastya.

Rencanaku gagal total karena otakku tetap tidak bisa berhenti berpikir, menduga-duga dan membawa kembali kenangan Mama bersamaku dulu di rumah itu. Aku kembali menangis yang ironisnya justru menjadi pengantar tidurku hingga aku terbangun pukul 5 pagi. Aku mengecek ponsel dan mendapati pesan dari Agastya yang juga sekaligus mengirimkan tiket pesawatku.

Ia akan menjemputku pukul 7 pagi karena dia memilih penerbangan pukul 11. Aku mencoba mengangkat kepalaku dari bantal namun aku meringis saat merasa seperti ada ratusan jarum yang sedang menusuk-nusuk isi otakku. Aku mengerang kecil dan memutuskan untuk mengistirahatkan mataku sebentar lagi.

Aku terbangun karena mendengar ketukan yang berulang di depan pintu yang beberapa detik kemudian membuatku melompat turun dari ranjang setelah aku cukup sadar dengan sekelilingku. Aku mencari-cari ponselku di bawah bantal dan meringis saat menyadari benda itu sudah mati total. Aku berlari ke arah pintu untuk membukanya dan mendapati seorang karyawan hotel dan Agastya dengan wajah khawatir menyambutku di sana.

"Ya Tuhan Anin." Serunya sambil menarik napas lega. Karyawan hotel itu juga terlihat lega dan kemudian pamit meninggalkan kami.

"Emang kamu pikir aku kenapa?"

"Yang terburuk."

"Bunuh diri?"

"Sempat melintas." Katanya jujur dan langsung membuatku tertawa keras. Ia hanya memandangku lurus tanpa ekspresi.

"Aku khawatir banget, Nin. Serius!"

Perlahan tawaku hilang dan berganti rasa bersalah.

"Maaf. Aku sebenarnya udah bangun sejak pukul 4 atau 5 tapi kepalaku pusing banget jadi aku pikir aku pengen pejam mata sebentar aja lagi eh nggak taunya kebablasan dan ternyata ponselku juga mati." Kataku sambil membuka pintu lebih lebar agar ia mengikutiku masuk.

"Aku lega kamu nggak apa-apa. Kamu bisa mandi sekarang? Karena ini sudah hampir pukul delapan." Katanya sambil melirik jam di pergelangan tangannya dan kemudian kembali memandangku. Wajahnya sangat serius, dan kata-katanya entah kenapa terasa sangat hangat menelusup ke batinku.

"Anin!" tegurnya saat melihatku hanya terpaku memandangnya.

"Ciuman semalam." aku berkata tanpa melepaskan pandanganku darinya. Aku bisa melihat kedua kelopak matanya sedikit melebar sebagai ekspresi tidak menyangka dengan kata-kataku.

"Iya?" sahutnya.

"Itu bukan berarti kita pacaran." Kataku lagi dan membuatnya terdiam seperti berpikir sebentar dan kemudian mengangguk.

I Found YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang