Chapter 30

3.2K 414 33
                                    

Dimas Agastya

Cemburu. Itu yang aku rasakan saat ini. Dengan langkah cepat aku meninggalkan halaman rumah itu tanpa berniat untuk menoleh pada si empunya rumah yang sudah menitipkan kata-kata yang cukup pedas di telingaku hingga menusuk ke jantungku. Tapi mungkin aku pantas menerimanya. Situasi ini terasa jauh lebih mendebarkan dibandingkan situasi putus kami pertama kali dulu.

Kecelakaan yang aku alami tadi bisa jadi suatu pertanda juga bahwa aku tidak boleh lagi menyia-nyiakan waktu yang ada. Aku bersyukur aku masih diberi kesempatan hidup. Di detik-detik mobilku bergerak diluar kendali, berputar entah berapa kali hingga akhirnya berhenti dan membuat aku kehilangan kesadaran beberapa detik, terus melintas di kepalaku. Tidak ada luka di tubuhku, safety belt menyelamatkan hidupku, hanya isi kepalaku terasa berputar-putar saat orang-orang membantuku keluar dari mobil. Beberapa saat kemudian aku sadar mobilku baru saja ditabrak dengan cukup keras. Aku baru saja mengalami kecelakaan.

Do it now or I'll lose her. Beberapa jam kemudian aku sudah menginjakkan kakiku di Jakarta. Sore menjelang saat taksi yang membawaku tiba di depan rumah. Aku memang sudah merencanakan perjalanan ini sebelum kecelakaan itu terjadi dan sebelum pemandangan yang menyesakkan dada antara Anin dan Adrian tertangkap mataku.

"Aga?" Mama keluar dari rumah dan menghambur ke pelukanku saat aku baru saja menginjak bibir teras. "Mama senang kamu datang." Sikap Mama sedikit tidak seperti biasa. Pelukan memang tidak pernah absen mama berikan setiap kali aku pulang hanya saja aku merasakan ada atmosfir berbeda sore ini.

"Mama sehat kan?" tanyaku sedikit khawatir mengingat situasinya saat ia meneleponku terakhir kali waktu itu.

"Lumayan." Jawabnya. Kami kemudian melangkah masuk ke dalam rumah. Mama tidak pernah tahu apa yang baru saja kualami beberapa jam lalu dan aku tidak berniat untuk memberitahukannya karena aku tidak mau ia semakin khawatir.

"Kamu pulang ingin jenguk Mama kan? Berapa hari kamu di sini?" Aku keluar dari kamar setelah menyimpan ranselku dan memandang Mama. "Itu ransel yang kamu biasa bawa ke proyek kan? Emangnya kamu ke Jakarta karena pekerjaan?" Mama kembali bicara.

"Aku memang langsung dari proyek, Ma."

"Jadi kamu nggak bakal lama pulangnya?" Raut wajah mama berubah kecewa.

"Aku ke Jakarta untuk menyelesaikan masalah kemarin."

"Masalah apa?"

Aku meraih tangan mama dan mengajaknya untuk duduk. Pandangan mama tak lepas dariku.

"Tentang Nyonya Bratadikara yang sudah mendatangi Mama."

"Apa yang kamu mau selesaikan?" raut ragu tercipta jelas di wajah mama.

"Aku akan meminta dia untuk nggak mengganggu Mama dan mencampuri hubungan aku dan Anin." Mama tertawa seperti sedang mengejek kemampuanku.

"Ma, percaya sama aku. Besok pagi aku akan menemuinya."

"Mama kan sudah pernah bilang sama kamu. Hubungan kamu sama Anin nggak akan semudah itu."

"Ma, aku butuh support Mama." Kataku tegas. "Jangan kecilkan harapanku." Aku menatap mama dengan sinar mata memohon. Dia kemudian hanya mengela napas dan memalingkan wajahnya.

"Baiklah." Ucapnya pendek dan kemudian beranjak meninggalkanku. Aku mengejar langkah mama sebelum ia masuk ke kamarnya.

"Ma, apa Mama masih meragukan hubunganku dengan Anin?" Mama berhenti melangkah dan berbalik memandangku. "Mama masih nggak menyukai Anin?" tanyaku dengan nada kecewa. Entah kenapa aku menyimpulkan kedatangan nyonya Bratadikara seperti sebuah senjata pamungkas yang mama pakai untuk menentang hubungan kami. Ya, ini pikiran burukku.

I Found YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang