Chapter 10

2.9K 411 42
                                    

Dimas Agastya

"Halo." Sapaku saat berjalan keluar sambil sesekali menengok ke balakang memastikan bagaimana reaksi Anin dengan telepon Kiara ini. Namun aku hanya melihat Anin yang sepertinya kembali menikmati obrolannya dengan Mike.

"Mas Aga."

"Hi, Kiara."

"Setelah kamu mengantarku waktu itu nggak ada kabar lagi dari kamu. Apakah kita benar-benar ummm...aku udah nggak bisa berharap sama kamu lagi?"

"Kiara, apa yang aku katakan siang itu sudah jelas bukan?" Aku mengambil jeda sebentar. "Aku akui aku memang brengsek karena dengan mudah begitu saja memutuskan hubungan ini." Meski dalam hati kalau boleh aku membela diri aku sama sekali belum bicara cinta pada Kiara hingga sampai pada titik menyebut sesuatu di antara kami ada sebuah hubungan. Tapi aku memang salah, aku memberinya harapan, aku bahkan mengajaknya ke rumah untuk kukenalkan pada keluarga Mas Rama dan juga Mama. Aku seharusnya tidak perlu lagi membela diri. Aku memang salah.

"Mama kamu." Kiara menghela napas. "Mama kamu terus meneleponku. Ia menangis dan minta maaf. Aku nggak tega, Mas."

Aku menghembuskan napas penyesalan. Aku tidak menyangka sebesar itu pengaruh kehadiran Kiara pada Mama. Aku tidak bisa bilang Mama terlalu berlebihan dalam hal ini karena Mama memang berharap aku sudah menikah dua tahun lalu lalu saat aku masih bersama Vidia. Tapi bukan berarti Mama berpikir bahwa Kiara adalah perempuan terakhir di dunia ini yang bisa aku nikahi.

"Aku akan bicara lagi pada Mama agar tidak mengganggu kamu. Maafkan aku Kiara."

"Aku nggak merasa terganggu, Mas. Kamu salah paham. Aku justru nggak tega sama Mama kamu."

"Mamaku harus menerima keputusan kita."

"Kita? Kamu yang membuat keputusan itu, Mas."

"Apa maksud kamu?" aku mulai tidak suka dengan keras kepala Kiara.

"Kamu yang memintaku untuk nggak meneruskan hubungan kita. Tapi aku kan enggak."

"Kiara..."

"Aku nggak akan mengecewakan Mama kamu. Aku nggak bisa menolak permintaannya"

"Apa yang Mama minta dari kamu?"

"Kamu perlu menanyakan itu?" Kiara tertawa menyindir. "Kamu pernah menyukaiku Mas. Aku yakin persaanmu padaku masih ada yang tertinggal."

"Kiara apa yang Mama minta dari kamu?" aku memotong kalimatnya dan mengabaikan dia yang berusaha menganalisa isi hatiku.

"Tante memintaku untuk nggak meninggalkan kamu."

"Jangan kabulkan permintaan Mama. Itu merugikan kamu, Kiara. Aku nggak sebanding dengan pengorbanan kamu. Aku bukan laki-laki baik untuk kamu."

"Aku nggak bisa menolak, Mas. Nggak semudah itu. Mas harus bantu aku!" kata-katanya begitu menuntut.

"Bantu bagaimana maksudnya?"

"Aku nggak apa-apa kita berpura-pura pacaran di depan Mama kamu."

Aku tertawa sumbang dengan ide gila Kiara.

"Aku nggak mau Kiara. Itu bukan ide bagus."

"Mas, aku..."

"Cukup Kiara aku nggak mau membahas ini lagi. Jangan turuti permintaan Mama. Dan nggak ada pacaran pura-pura. Selamat sore." Aku memutuskan sambungan telepon. Lalu terdiam sesaat mencoba menata lagi isi otakku yang tadi cukup berantakan dengan segala omongan tak masuk akal Kiara. Apa hebatnya aku sampai Kiara begitu berkeras untuk bersama-sama denganku? Aku tidak mengerti. Pacaran pura-pura? Ya Tuhan!

I Found YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang