Anindira Maheswari
Aku berdiri memandang bangunan berlantai banyak yang masih dalam tahap pengerjaan itu, kelopak mataku menyipit melawan silaunya sinar matahari. Aku menoleh sebentar ke belakang saat Aga meletakkan sesuatu di kepalaku.
"Keselamatan nomor satu." Bisiknya saat helm proyek berwarna kuning itu sudah melekat di kepalaku.
"Kita ke sana yuk." Aga mengulurkan tangannya membantuku melewati lingkungan proyek yang dipenuhi dengan bahan-bahan bangunan serta menghindari beberapa truk yang masuk keluar. Beberapa pekerja tampak bersiul ke arah Aga menggodanya. Kami menyusuri bagian belakang bangunan yang cukup luas dan ditumbuhi hijaunya rumput. Rumput-rumput itu tampak basah karena air yang berasal dari beberapa sprinkle putar di beberapa titik.
"Adem kan hijaunya? Ini akan jadi lapangan golf mini." Jelas Aga yang kemudian membawaku ke area yang lebih rendah dan kami tiba di pinggir tebing dengan pemandangan lautan di bawahnya.
"Berapa lama lagi ini selesai?"
"Enam bulan lagi." Jawabnya. "Setelah itu kita menikah." Sambungnya yang langsung mendapat cibiran dariku.
"Kamu sepertinya nggak suka setiap kali aku bicara pernikahan." Rautnya berubah kecut.
"Bukan nggak suka..."
"Kemarin alasannya karena kamu belum dapat restu Mama. Sekarang kan udah. Aku bahkan nggak menargetkan akhir tahun ini tapi enam bulan lagi. Itu artinya kita sudah genap setahun pacaran." Aku tersenyum dan mengulurkan kedua tanganku ke wajahnya dan mengatup pipinya.
"Oke. Kita menikah enam bulan lagi." Aku mengangguk yakin dan membuat senyum di wajahnya tercipta. Kami sudah menjalani hubungan ini selama enam bulan. Enam bulan yang menyenangkan dan penuh cinta. Aku merasa setiap harinya cintaku pada Agastya semakin besar dan tentu saja laki-laki ini adalah kandidat satu-satunya untuk menjadi suamiku. Laki-laki yang akan hidup bersamaku hingga kami meninggalkan dunia ini.
"Bagaimana hubungan kamu sama Papa?" Aga merangkul bahuku membawa kaki kami melangkah memutari bangunan besar ini.
"Ya gitulah. Sejak pertemuan kita di Rumah Sakit, aku udah jarang menghubunginya. Dia yang masih memberi kabar tentang adikku. Aku udah nggak mau marah lagi, Ga. Percuma. Semuanya sudah terjadi. Rasa marah hanya membuat aku jadi orang yang selalu negatif dan sangat menguras energi."
"Kamu benar."
"Bagaimana hubungan kamu dengan Papa?" aku balik bertanya padanya. Ia menghentikan langkahnya kemudian memandangku.
"Pak Hirmawan tetap nggak berubah meski ia tahu I am dating his only daughter. Kami belum banyak bicara yang terlalu pribadi tapi ia selalu menitip pesan untuk jagain kamu. Ia tahu kamu masih marah padanya."
Aku terdiam dan menyunggingkan senyum kecil.
"Aku akan maafkan Papa tapi tentu saja aku nggak akan lupa dengan dosanya pada Mama."
"Aku tahu." Aga tersenyum dan menyelipkan untaian rambutku yang terbang karena angin ke belakang telingaku.
"Sudah enam bulan aku nggak ke Jakarta. Apa sebaiknya aku pulang dan melihat keadaan adikku?" aku menatap Aga meminta persetujuannya.
"Hati kamu baik, Nin." Aga tak melepaskan pandangannya dariku. "Pulanglah."
"Thank you."
***
Aku kembali ke Jakarta dan memilih tinggal di salah satu hotel dan kemudian mengundang Sasha, Anneth dan Dita. Kami kembali berkumpul dalam formasi lengkap meski Dita tidak bisa menginap karena tidak ingin meninggalkan Revan anak semata wayangnya yang masih berusia 3 tahun.

KAMU SEDANG MEMBACA
I Found You
RomantikAnindira Maheswari menjadikan Dimas Agastya sebagai target jodoh yang akan ia bawa ke hadapan Ayahnya sebagai balas dendam. Ia tahu benar Agastya adalah kebanggan Ayahnya di perusahaannya dan dia tentu saja bukanlah perempuan tepat untuk Agastya di...