Chapter 15

2.7K 356 25
                                    

Sepuluh Tahun Lalu

Anindira Maheswari

Aku melangkah dengan mengendap-endap lewat pintu belakang. Telunjukku kuletakkan di depan bibir saat melihat Bik Yuni yang sedang mengepel lantai dapur cukup terkejut dengan kehadiranku. Aku masih mengenakan rok abu-abu dengan atasan yang sudah berganti dengan t-shirt pink. Jam sudah menunjuk pukul 5 sore yang artinya aku sudah terlambat pulang ke rumah hampir 3 jam. Aku mendapati rumah cukup lengang dan menarik napas lega. Papa seperti biasa pasti belum pulang, sedang Mama pasti sedang menyendiri di ruang baca.

Aku tahu aku salah karena sudah mengabaikan telepon Mama, itu karena aku tahu Mama sudah tahu kebohonganku dan aku tidak mau Mama mengomeliku di telepon dan menyuruhku cepat pulang di saat aku masih ingin bersenang-senang dengan sahabat-sahabatku. Aku memilih menerima hukuman apapun nantinya dari pada mendengar perintah untuk pulang ke rumah.

Saat aku berangkat pagi tadi aku bilang pada Mama akan ada les tambahan pelajaran Bu Berta di sekolah dan aku bisa pulang bareng Sasha, tapi yang terjadi adalah aku, Sasha, Anneth dan Dita nongkrong di Pondok Indah Mal untuk sekedar mencoba sebuah gerai es krim terkenal yang baru dibuka di sana.

"Kamu dari mana?" aku terlonjak saat mendengar suara Mama. Aku mengangkat wajahku dan mendapati Mama di ujung tangga sedang bersiap turun, di tangannya ada dua buah guci keramik.

"PIM." Jawabku pelan.

"Besok-besok kamu nggak perlu bohongin Mama. Untung tadi waktu Mama telepon Bu Berta, Mama nggak langsung nanyain tentang les tambahan bohongan kamu itu jadi dia nggak perlu tahu kalau siswanya udah manfaatin namanya buat bohongin orang tuanya." Omel Mama.

"Maaf, Ma."

Mama menuruni tangga hingga kami bertemu di anak tangga pertama.

"Mama mau ngapain?" aku kemudian mengekor Mama dari belakang.

"Oma kamu datang dari Belanda. Sekarang dia lagi di kantor sama Om Roni."

"Ngapain sih Oma pake datang-datang?" Rajukku. Aku melihat mama meletakkan dan menata guci-guci itu pada lemari pajang di ruang tamu dan tidak lama Pak Salim muncul sambil membawa dua guci super besar yang langsung diarahkan Mama untuk diletakkan di sudut ruang tamu.

"Terus Mama lagi menyiapkan penyambutan gitu?" Mama menoleh ke arahku dan tersenyum dengan pertanyaanku.

"Guci-guci keramik ini harus ada saat Oma kamu datang. Semua guci ini kan pemberian dia. Bisa jadi perang dunia kalau dia datang dan nggak menemukan guci-guci pemberiannya di ruang tamu ini." Aku tersenyum paham. Tentu saja perempuan tua cerewet yang aku sebut Oma itu suka sekali merecoki aturan yang Mama buat di rumah ini. Gaya Mama dalam mendekorasi isi rumah ini selalu ia kritik, apa yang Mama lakukan tidak pernah ada yang benar di matanya. Padahal Mama seorang desainer interior handal yang memang sudah lama meninggalkan profesinya itu sejak menikah dengan Papa.

"Kamu jangan bengong di situ, ayo bantu Mama."

Aku menghentakkan kaki kesal. Aku tidak tahu berapa lama perempuan tua itu akan tinggal di rumah ini dan akan menjadi duri dalam daging bagi Mama.

Sekitar pukul 8 malam Papa pulang bersama Oma. Aku kemudian berpikir kenapa Oma tidak menginap di rumah Om Roni. Tante Gita, istri Om Roni adalah menantu kesayangannya. Atau ia bisa saja menginap di salah satu hotel bintang lima terbaik di kota Jakarta Raya ini. Tapi kenapa memlih rumah kami? Apakah hanya karena Papa anak sulung atau memang dia sengaja ingin menyiksa batin Mama?

"Who are you?" sapa Oma saat melihatku menyambutnya di depan rumah.

"Anindira, Oma." Jawabku sedikit memiringkan kepalaku biar terkesan manis.

I Found YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang