Chapter 28

2.9K 346 47
                                    

Adelia Winata

Aku memperhatikan dada kecil Ethan yang bergerak naik turun secara teratur. Kedua tangan mungilnya terlipat ke atas persis seperti orang dalam posisi menyerah. Terkadang bibirnya bergerak sendiri dan senyum kecil tercipta di sana, entah mimpi indah apa yang sedang ia alami.

Bibirku mengulas senyum kecil mencoba larut dalam kenikmatan yang sedang kuarasakan saat ini, menatap Ethan yang tertidur dengan damai tanpa peduli pada perdebatan di bawah sana. Hal yang dengan mudah diprediksi, kehadiran Anin yang bersamaan dengan Ibu mertuaku akan dengan mudah menciptakan perang.

Aku berjalan perlahan mendekati pintu kamar Ethan dan dari sana aku bisa mendengar lantangnya suara ibu mertuaku menghardik Anin dan Papa-nya.

"Sebagai sulung dari Bratadikara kamu sama sekali nggak becus memilih pasangan hidup. Untuk kamu sendiri maupun untuk putrimu!"

Tidak ada respon apapun dari Anin maupun Papanya namun yang tejadi setelah itu, aku bisa mendengar langkah seseorang keluar rumah dan membanting pintu depan dengan penuh amarah. Aku melangkah semakin jauh dari pintu kamar dan mataku dengan mudah menangkap pemandangan di lantai bawah. Anin sudah tidak di sana, itu artinya dia yang baru saja meninggalkan rumah ini.

"Tega sekali Mama bicara begitu di depan Anin." kini suamiku yang berbicara.

"Mama bicara kenyataan."

"Mama nggak berhak bicara seperti itu. Anin bukan anak Mama. Dia anakku! Aku yang mengenalnya. Aku yang paling tahu yang terbaik untuknya. Dulu aku memang sependapat dengan Mama tentang laki-laki yang bernama Bagas itu. Tetapi tidak dengan Agastya."

"Dia hanya karyawanmu, Wan! Kamu tuh ya suka larut dengan rasa sentimentilmu sehingga mengira dia tepat buat Anindira. Jangan salah kamu."

"Aku mohon, Ma. Jangan sakiti Anin lagi dengan mencampuri kehidupan pribadinya. Aku sudah terlalu banyak salah padanya."

"Dia cucu sulungku. Dia yang berkemungkinan besar untuk melanjutkan perusahaan keluarga kita, Mama mau dia punya suami yang sepadan yang bisa bersama-samanya mengelola perusahaan."

"Cukup, Ma. Dan tentang perusahaan, Mama bisa memberikanya pada Roni. Dia sudah lama mengurus perusahaan dan rasanya nggak adil kalau perusahaan malah jatuh ke tangan Anin."

"Kamu memang beda, Wan. Kamu memilih nggak masuk ke perusahaan keluarga, kamu memilih nggak memakai nama Bratadikara, dan kamu memilih sendiri perempuan yang menjadi istrimu yang pada akhirnya pun membuat kamu nggak bahagia. Terbukti kan kalau kamu sendiri nggak tahu yang terbaik untuk kamu."

Aku menggigit bibirku mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Ibu mertuaku. Aku tahu ia tidak sedang membicarakanku melainkan ibu kandung Anin. Aku sendiri pun masih belum mengerti hingga saat ini kenapa ia tidak bisa menerima ibunda Anin tapi ia bisa menerimaku.

"Ma, ada satu hal yang ingin aku tanyakan. Kenapa Mama nggak pernah bisa menerima Wulan tetapi Mama bisa menerima Adelia?" Aku menahan napas mendengar pertanyaan suamiku ini. Tubuhku semakin kutarik untuk bersembunyi di balik pilar agar tidak memungkinkan mereka yang dibawah menyadari kehadiranku.

"Dengan Adelia Mama udah nggak punya pilihan. Seenggaknya Mama tahu dia akan buat kamu bahagia setelah pernikahan panjangmu yang sia-sia...."

"Jangan bilang seperti itu Ma. Pernikahan itu nggak sia-sia. Ada Anin yang hadir dari sana."

"Ah cukuplah dengan sisi sentimentilmu itu!"

"Adelia yang masih muda membuat Mama punya harapan untuk mendapatkan cucu laki-laki. Dan dia berhasil memberikannya. Anin dan anak-anak Roni dan Gita semuanya perempuan. Ethan menjadi cucu laki-laki pertamaku. Semoga Mama punya umur yang panjang melihat dia tumbuh besar dan menjadi penerus perusahaan Bratadikara."

I Found YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang