Di zaman yang terbilang gila ini, kejahatan dan kekejian manusia adalah aib paling busuk yang dimiliki bumi. Saling menyakiti sesama tanpa belas kasian dan terkadang jadikan keegoisan sebagai alasan di baliknya. Bukankah Tuhan telah ciptakan hati nurani pada manusia, lantas mereka pergunakan sebagai apa?
Satu embusan kegusaran keluar dari bibirku. Hampir sepuluh menit aku dirunduh gelisah tak berujung. Saat ini aku sedang berperang dengan jiwaku sendiri, berusaha meredam kegeramanku atas kejadian naas yang terjadi di lingkungan rumahku yang terkenal damai. Namun, manusia keji yang memerkan keegoisannya dengan meninggalkan sebuah mayat di belakang semak belukar kemarin malam membuat kedamaian itu luntur.
Terlebih lagi, pantaskah kusebut diriku sebagai mantan detektif jika aku diam saja setelah semua kejadian ini?
Netraku bergulir ke arah Yunjin yang acuh sembari memainkan ponselnya. Dia memang seperti itu, sebenarnya sikap yang ia miliki lebih menguntungkan kendati dia adalah orang yang tidak suka mencampuri urusan orang lain.
"Hm, Eonni."
"Aku tidak tahu." Ah, menyebalkan sekali. Sikapnya juga berdampak buruk untukku. Aku bahkan belum menyelesaikan kalimatku, Yunjin sudah menebak dan menolaknya mentah-mentah. "Aku sudah bilang padamu 'kan, Bora. Banyak hal yang sebaiknya tidak perlu dicampuri. Sikapmu akan menyusahkanmu suatu saat nanti."
Benar, aku tidak bisa menapik fakta itu. Melompat ke dalam kobaran api yang dinyalakan oleh orang lain adalah kebodohan nyata. Namun sayangnya, meski aku sadar akan hal itu, tetap saja aku terus saja melibatkan diriku di tengah-tengah perkara. Apalagi setelah mendengar dari Yunjin bahwa mayat yang ditemukan di sana adalah seorang pria tua-hatiku terasa tersayat.
Mengapa manusia sangat tega pada manusia lemah?
Tak bisa berikan pembelaan, aku menyandarkan kepalaku pada kursi sebagai pelampiasan kesal. Mencoba mendapat ketenangan, aku lantas mengatupkan kelopak mataku. Juga sebagai langkah menghindari ceramah Yunjin yang tidak pernah sedikitpun kuterapkan.
"Kau sendiri yang bilang 'bukan? Kau akan berhenti menjadi detektif setelah keluar dari kantormu? Lalu apa lagi-"
Senyap, tiba-tiba saja suara Yunjin hilang. Awalnya kupikir dia telah lelah karena sikap keras kepalaku. Namun, saat membuka mata untuk memastikan ekspresi kakak, yang kutemukan adalah kursi yang telah kosong. Dahiku mengerut heran selagi aku memperbaiki posisi dudukku yang sempat merosot. Kepalaku sedikit miring untuk melihat ke arah teras di mana Yunjin kini berdiri.
Dia tidak sendiri, ternyata pangerannya datang.
Tidak aneh bagi wanita yang memiliki kekasih jika seorang pria datang menemuinya. Namun, sebutlah aku norak karena diam-diam mulai memasang telinga baik-baik-mencoba menangkap isi perbincangan kakakku dengan si poker face-kusebut dia seperti itu kendati lelaki yang mengencani Yunjin itu selalu memperlihatkan wajah menyebalkan.
Sebenarnya aku bukan wanita gila urusan yang tidak bisa memberi mereka privasi, tetapi mendengar vokal suara Yunjin yang seperti tertekan, aku membuat kesimpulan; mereka sedang berdebat.
Ah sial, aku semakin penasaran.
"Kau selalu mengeluhkan sikapnya, tetapi bagaimana denganmu? Apa kau tidak memikirkan betapa keras kepalanya dirimu?"
Mereka berdebat karena orang lain.
"Jika kau datang karena membutuhkan pembelaan bahwa kau tidak salah, aku tidak bisa mengatakan kau benar." Suara Yunjin terdengar memudar dan mulai lemah. Wah, keadaan perdebatan ini kacau sekali. "Kau membuatku lelah."
Selanjutnya, selaan napas frustasi terdengar beriringan dengan suara berat si pangeran. "Kau tidak mengerti, Yunjin-ah," ucapnya.
Agaknya kakak sudah sampai pada batasnya. Ia tidak sudi lagi memberikan tanggapan dan memilih membalik tubuhnya lalu melenggang meninggalkan si wajah poker.
KAMU SEDANG MEMBACA
POUR Y √
FanfictionMereka memanggilnya sebagai pendosa. Namun, bagiku ia hanyalah orang yang kutemui di sudut studio piano sendirian. Si manusia malang yang mencoba membunuh rasa kesepian yang mencekiknya hingga akhir. Pour Y : Untuk Y Started : August 28, 2020 Finis...