Kurasa aku mengerti sekarang, mengapa manusia memilih tidak sejalan. Serta mengapa banyak manusia yang menyalahi aturan demi keegoisan. Hidup terlalu pelit memberi pilihan. Sama halnya hidup dan mati. Bukankah harusnya ada pilihan ketiga?
Mundur atau kehilangan. Aku hampir gila memikirkan dua pilihan itu. Hingga terbesit niat untuk membuat kesepakatan dengan ego. Aku ingin tetap menjadi teman bercerita Min Yoongi dan melihatnya menjadi salah satu dari orang paling bahagia di dunia. Namun, aku juga tidak ingin menumbalkan orang lain untuk kebahagiaan itu. Kim Taeri, Kim Namjoon, Kim Taebin, dan Oh Gaechan pantas dapat keadilan dalam hidup mereka.
Tembok ini terlalu besar untuk kuterjang. Harap naifku untuk mencintai si Poker tidak cukup untuk merobohkan kenyataan bahwa ia harus mendekam dan menderita di dalam penjara. Kembali dikurung dalam keterbatasan setelah diperlakukan seperti itu oleh ayahnya.
Bolehkah aku berpikir untuk meloloskan si Poker dari hukuman atas perbuatannya? Bolehkan egois menyelematkan kami berdua yang hampir karam?
"Hai."
Khayalan telah kembalikan diriku ke dunia nyata melalui sapaan itu. Netraku yang menatap kosong kini bergulir ke arah asal suara dan mendapati seorang gadis muda yang mungkin usianya masih awal dua puluh tahunan atau akhir belasan tahun. Dilihat dari pakaiannya, ia adalah pasien di rumah sakit ini. Benar, aku sedang terduduk di taman rumah sakit di mana nenek dirawat. Niat awal untuk menemaninya selagi Yunjin mengurus urusan kantornya. Namun, siapa yang tahan di sana jika hanya sinis dan ketus yang didapatkan?
Gadis dengan surai panjang dikuncir rendah itu tersenyum. Sebagai ramah tamah, ku berikan reaksi sama selagi aku angkat bicara. "Halo, siapa, ya?" tanyaku.
"Boleh aku duduk?"
Sebenarnya agak tidak nyaman duduk bersama orang asing. Namun, aku tidak boleh serakah atas kursi yang memang diperuntukan untuk umum, maka kugeser tubuhku lalu ketepuk sisi yang kosong mengisyaratkan bahwa aku tidak masalah.
"Kamsahamnida."
Selepas gadis itu duduk, senyaplah yang mengambil alih karena segan dan canggung. Mungkin memang tempat ini adalah tempat paling tepat untuk merenung. Baik bagi pasien yang menunggu pulih, sanak saudara yang cemas, ataupun warga rumah sakit yang frustasi karena pekerjaan.
Setidaknya senyap itu tidak berlarut-larut terlalu dalam karena gadis di sampingku akhirnya bersuara. "Mengapa kau tidak menyanyi atau setidaknya bermain gitar hari ini? Temanku sangat suka melihatmu tempo hari."
Siapa yang tidak suka dengan pujian? Jika ada, itu bukan aku. Pasalnya, senyum terbit dengan sendirinya di wajahku kala mendengar pernyataan itu. Apalagi pujian itu diiringi dengan senyum manis dari wajah gadis pucat itu. Meski dalam keadaan seperti itu, dia tetap terlihat sangat cantik.
Maka untuk mengapresiasi usaha gadis itu untuk tetap tersenyum di keadaannya yang mungkin tidak dalam baik-baik saja, aku meraih gitar yang tadinya hanya kusandarkan pada pegangan kursi. Saku jaket kurogoh lalu kukeluarkan korek api yang kurampas dari si Poker semalam, kemudian menggantungnya di gitar agar tidak hilang. Semua itu tidak luput dari pandangan si gadis.
"Kau mau mendengar lagu apa?"
Senyum mekar lebih lebar dari wajahnya mendengar persetujuan itu. Maka ia tampak berpikir sejenak lalu menjawab dengan semangat. "Still With You, boleh nyanyikan itu? Sebentar lagi temanku akan datang, ia sangat suka lagu itu."
"Tentu," jawabku.
Lantas gitar aku angkat kemudian beranjak menuju ke tengah-tengah taman. Kali ini tidak seramai saat pertama kali aku menyanyi di sini-itu lebih baik. Maka setelah meminta izin dan perhatian, aku memetik sinar gitar.
KAMU SEDANG MEMBACA
POUR Y √
FanfictionMereka memanggilnya sebagai pendosa. Namun, bagiku ia hanyalah orang yang kutemui di sudut studio piano sendirian. Si manusia malang yang mencoba membunuh rasa kesepian yang mencekiknya hingga akhir. Pour Y : Untuk Y Started : August 28, 2020 Finis...