Pelan, sangat perlahan napas halus keluar dari belah bibir. Seakan menjadi pelampiasan dari sesak yang bersarang di dalam lubang besar dalam dada. Suara denting jarum jam terdengar nyaring seiring waktu yang bergulir begitu lambat. Membiarkan angan-angan semakin merajalela. Kesunyian seakan menarik dan menenggelamkan entitas diriku yang meringkuk di atas kasur dengan gelisah.
Butuh waktu beberapa sekon, hingga akhirnya aku memejamkan mata sejenak. Membiarkan gemuruh dalam dada hilang dengan sendirinya.
Aku menoleh, melirik jam yang tergantung di sisi ruangan. Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua puluh lewat beberapa menit. Namun, aku masih terbaring di sini semenjak pulang dari studio. Bahkan entah sudah berapa kali kakakku berteriak di depan pintu agar aku turun untuk makan, tetapi aku masih tak beranjak. Membiarkan ia lelah dengan sendirinya hingga memilih makan malam tanpaku. Sudah biasa, aku bahkan lupa kapan kami bertiga—aku, Yunjin, dan nenekku makan bersama.
Kepalaku berdenyut dengan pikiran yang kusut. Bekas serangan panik yang tiba-tiba kembali di studio tadi masih terasa menganggu. Ditambah dengan resah akibat mata itu.
Mata sehitam obsidian itu mengingatkanku betapa tegangnya malam di mana aku bertemu dengan pria yang menciptakan kegemparan dengan meninggalkan jasad di semak-semak. Aku tidak ingin berpikir hal negatif, tetapi sebagai seorang yang pernah menyandang pekerjaan sebagai detektif swasta aku tahu bahwa hal ini bukan sesuatu yang bisa diabaikan. Manusia memiliki ciri khas dan mata seseorang bukan hal yang bisa mirip satu sama lain secara kebetulan. Lantas, apa yang harus kulakuakan? Apa aku masih bisa beralasan untuk tidak mencampuri kasus ini setelah semua benang merah yang mengaitkan pria misterius itu dengan mantan kekasih Yunjin. Jaket dan matanya, apa itu cukup?
Namun, aku telah berjalan membelakangi MPV terlalu jauh. Mimpi untuk menjadi detektif paling menonjol di MPV sudah kukubur dalam-dalam agar sedikit banyak membuat kebencian nenek padaku meredup. Ya, itu salah satu alasan nenek tidak menyukaiku. Dia benci pekerjaanku yang selalu mengingatkannya pada ibuku—mantan menantunya.
Sejujurnya, wanita tua itu menyebalkan. Akan tetapi, aku tumbuh di bawah asuhannya, tentu saja seburuk apapun perlakuannya padaku tak menghapus kenyataan bahwa aku hidup berkatnya. Sudah sepantasnya aku menuruti perintahnya.
Namun, apa aku harus diam dan membiarkan si pembunuh itu bernapas lega setelah melenyapkan dua nyawa manusia?
"Aarghh!"
Aku bangun dari posisi berbaringku diiringi erangan sebagai wujud kekesalan. Kurasa Tuhan benar-benar benci padaku, Dia selalu saja menyudutkanku dan menempatkanku dalam dua pilihan sulit. Sangat menyebalkan.
Merasa amat tertekan dengan mengurung diri di kamar, kini aku beranjak dan mulai menyeret tungkaiku. Jaket kulit hitam yang tersampir di kursi, kuraih. Disusul ponsel serta barang ilegal yang diam-diam masih aku simpan, kuselipkan ke dalam jaket. Malam hampir larut dan keadaan di lantai satu telah gelap saat aku turun dari kamar. Mungkin malam ini aku harus mencari udara segar atau setidaknya melakukan sesuatu agar gundahku hilang.
Kenop pintu baru saja kuputar sebelum akhirnya teguran menghentikan pergerakanku untuk sejenak.
"Mau keluyuran malam lagi?"
Aku tidak menoleh kendati sudah tahu persis siapa yang akan ucapakan hal sesinis itu padaku. Bahkan tanpa salam pamit, kini aku membuka pintu dan melangkah keluar. Terlalu banyak yang bergelut dalam pikiranku, aku tak punya tenaga untuk meladeni nenek yang meski mulutku berbusa memberi pembelaan, dia tidak akan dengarkan.
Sebelumnya, aku pernah mengatakan bahwa aku sangat menyukai keramaian jalan ibu kota Seoul, bukan? Di sanalah aku sekarang, berjalan tanpa tujuan di antara orang-orang sibuk di jalan ramai ini. Celana olahraga panjang yang membalut kakiku ternyata tak cukup untuk mengatasi udara dingin. Meski sedikit mengigil, aku tetap pacuh langkah sembari memperhatikan beberapa hal menarik di sepanjang jalan.
Di depan sebuah toko sepatu, aku berhenti sejenak. Menatap ke dalam toko yang hanya terhalang dinding kaca hingga aku bisa melihat semua aktivitas di dalam. Tanganku mulai gemetaran. Di televisi yang menggantung di sudut toko, aku bisa melihat berita yang menayangkan tentang kasus kematian Kim Taebin dan Oh Gaechan—dua orang yang memerlukan keadilan atas perbuatan bejat seseorang.
Aku menghela napas panjang, selepas jenuh berdiri di sana seperti orang bodoh, tungkaiku kembali berjalan dengan pandanganku yang sudah jatuh pada trotoar yang aku pijaki. Aku takut menatap sekeliling lagi, aku takut seseorang akan menyalahkan aku karena kebungkamanku—karena aku pengecut.
Tak sampai di situ, kini tungkai membawa diriku masuk ke dalam bus. Duduk di sudut dengan menyaksikan kehidupan di luar jendela. Sekali lagi, tanpa tujuan jelas.
"Sstt."
Aku meringis pelan. Sial sekali, duduk bosan di dalam bus membuat laju lamunanku tertuju pada bayangan mata itu. Sorot dingin yang berhasil membuat aku diserang kegundahan. Aku ingat jelas, bagaimana netra itu menyorot malam di mana aku melihatnya di depan rumah. Namun, benarkah pria yang pernah dicintai dan mencintai Yunjin itu sanggup melakukan semua itu?
Cintai dirimu, percayai dirimu, dan lindungi dirimu. Karena tak ada yang tahu, bagaimana orang di luar sana.
Tidak.
Benar kata ibuku dahulu, tak ada yang tahu bagaimana orang di luar sana. Bisa jadi seseorang yang terlihat baik memiliki sisi iblis dalam diri. Saat seseorang tidak bisa kendalikan diri, semua bisa terjadi, bahkan hal paling buruk sekalipun.
Aku menghela napas sejenak tak lama setelah turun dari bus. Menatap lurus pada bangunan dengan papan besar bertuliskan "Markas Penyelidikan Vaga Seoul". Tempat yang mengajarkanku bahwa di luar sana banyak orang tak berakal yang berbuat kekejian. Juga, tempatku untuk bersembunyi dan menghabiskan sisa-sisa masa mudaku yang telah kehilangan warna semenjak kedua orang tuaku memutuskan untuk berpisah—lebih tepatnya—aku yang meminta mereka berpisah.
Kembali kutatap gedung itu, mengulum bibir sendiri dengan keraguan yang mulai hinggap dalam diri ini.
Masuk dan bicara atau pulang dan diam?
Aku tertunduk, menatap ujung sepatuku yang ragu untuk melangkah. "Jangan libatkan dirimu dalam api yang dikobarkan orang lain, Bora." Selepas mengucapkan itu, aku memutar langkah layaknya seorang pengecut. Dalam diam menyeberangi jalan tanpa menoleh lagi.
"Hei, Mantan Rekan."
Langkahku terhenti, memicingkan mata ke arah depan sana. Pada seorang wanita yang nampak melambai seraya tersenyum ke arahku. "Kim Taeri?"
Tepat kala wanita muda itu sudah berdiri di depanku, ia menyodorkan sebuah paper bag bertuliskan McDonald. "Ini, aku membeli makanan untuk tim yang sedang menyelidiki kasus ayahku, kebetulan ada lebih ... ambil saja," katanya.
"Ah, tidak—" Bibirku terkatup rapat. Menatap wanita muda itu dengan lamat. Di bawah matanya tampak bulatan cokelat yang jelas. Sudah berapa hari dia tak tidur? Dia pasti sedang bekerja keras demi mendapatkan keadilan atas kematian ayahnya. Dan wanita itu bahkan bersikap sangat baik padaku padahal dulu aku sempat melukainya dan sempat lupa siapa namanya.
Lalu apa aku akan tetap diam membiarkan kerja kerasnya sia-sia?
"Gomawo, Taeri," ucapku diiringi senyum kecil sembari meraih pemberian wanita itu. Sebelum beranjak pergi, aku menepuk bahunya sejenak. "Semoga berhasil dengan kasus ayahmu."
POUR Y
KAMU SEDANG MEMBACA
POUR Y √
FanfictionMereka memanggilnya sebagai pendosa. Namun, bagiku ia hanyalah orang yang kutemui di sudut studio piano sendirian. Si manusia malang yang mencoba membunuh rasa kesepian yang mencekiknya hingga akhir. Pour Y : Untuk Y Started : August 28, 2020 Finis...