POUR Y: 19

82 15 19
                                    

Orang yang tidak pernah merasakan keadaan seperti kita tidak akan bisa mengerti rasa sakit kita, begitu katanya. Namun, benarkah orang lain memang bisa mengerti jika aku sendiri tidak bisa memahami perasaanku? Terlalu banyak standar yang harus dipikul. Aku harus menjadi detektif yang berakal, membunuh mentalku dengan melalui serangkaian pelatihan agar tidak mudah terlarut dalam emosi. Akan tetapi, aku juga dibesarkan sebagai manusia yang dicekoki pelajaran untuk mengasihi.

Lantas betulkah aku harus memilih di antara; menjadi detektif yang baik untuk diriku sendiri dan menjadi manusia yang berperasaan untuk si Poker? Mengapa tidak bisa kulakukan sekaligus?

Sempat terlintas dalam benak. Mungkinkah aku sudah terlalu jauh menenggelamkan diri dalam kubangan takdir membingungkan ini? Lantas benarkah aku telah mencintai seseorang yang telah terperosot jauh di dalam kegelapan? Kurasa itu harus segera dihentikan. Kegelapan harus bertemu cahaya. Aku bukan cahaya. Kami sama-sama kegelapan.

Embusan napas berat keluar dari belah bibirku. Pening di kepala memang sudah sedikit meredah, tetapi tidak dengan sesak dalam dada kala kulihat aku sudah hampir sampai di tempat yang kutuju. Kakiku meragu dan lemas seiring jarak yang semakin menipis antara aku dengan rumah itu. Bagai seorang anak remaja labil yang tidak bisa putuskan antara membeli kaset idolanya atau jajan di sekolah.

Sayangnya, tidak sesederhana itu lagi. Hal yang kuputuskan sekarang ialah; melangkah untuk mencari rahasia di dalam kegelapan, atau mundur tanpa peduli bahwa mungkin saja seseorang tengah sekarat di dalam kegelapan itu

Menatap dalam-dalam pintu kayu berwarna cokelat gelap itu. Kumantapkan hati agar tangan bisa bergerak mengetuknya. Beberapa kali tanganku terangkat, tetapi tetap saja terhenti sebelum menyentuh permukaan keras itu.

Aku takut. Tidak. Aku tidak tahu sebenarnya mengapa rasanya amat berat. Bukankah konyol jika dugaan Namjoon benar? Aku si wanita bodoh ini telah jatuh cinta pada pria dengan jejak kejahatan yang bukan main-main. Sungguh, itu alur yang amat menjijikan jika aku hidup dalam sebuah novel.

Klek!

Tubuhku tersentak bahkan telah kuambil satu langkah mundur. Pintu sialan itu tiba-tiba terbuka di saat pikiranku masih sekacau ini.

Dia muncul di balik pintu—pria yang juga terlihat sama terkejutnya denganku. Namun, dia cukup ahli kendati wajahnya sudah kembali ke setelan awal. Dahi berlipat, mata yang bertanya-tanya, dan gertur yang malas. Aku kembali bertanya-tanya, bagaimana bisa aku menyukai pria model seperti ini?

Sial, aku benci suasana ini. Si Poker memang orang yang tidak banyak bicara. Namun, mengapa sekarang aku juga tidak bisa menemukan kata-kata yang bisa kuucapkan? Dadaku semakin terasa tertekan dan sesak. Bahkan saat saling bertatapan seperti ini, akulah yang selalu kalah. Mata milik si Poker sungguh menakutkan sekarang.

"Bora?"

Bahkan kini aku benci suara itu. Aku benci kendati selalu membuat aku memutar puing ingatan di saat si Poker menangis di studio. Ingatan itu akan terus membekas di sana, kurasa tak akan hilang. Sialnya, itu tak baik untukku.

"Bora, ada apa?"

"Tidak apa-apa," ucapku pada akhirnya seraya kabur dari tatapannya. Kuharap objek lagi dapat memupuk nyaliku yang sudah terkikis hampir habis. "Apa aku mengganggumu?"

"Selalu."

"Maaf."

Entahlah, kata itu meluncur begitu saja tanpa direncanakan. Seakan memang sudah seharusnya terucap. Aku kembali menatap si Poker yang kini sepertinya mulai menyadari tingkah tidak nyamanku.

POUR Y √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang