POUR Y: 12

114 19 22
                                    

Aku tidak tahu dari mana keberanian tiba-tiba bernaung di tubuhku hingga aku bisa bertindak sejauh ini. Sadar atau tidak, pasti ada resiko besar yang akan menantiku di masa depan. Namun, semuanya telah berjalan amat cepat. Mungkin bermula saat aku dengan nekat duduk di pangkuan si Poker dan memaksanya untuk mengajariku bermain piano, lalu mengekorinya setiap pulang studio, bahkan beberapa kali kuseret dia dengan paksa ke rumah sakit untuk mengganti perban dari luka di pinggangnya. Mungkin terdengar menjijikan, tetapi itu benar-benar bekerja untuk mengikis jarak yang dia ciptakan antara aku dan dia.

Tentu saja, bukan hal yang mudah bagiku juga. Si Poker adalah manusia sekeras batu yang kuakui baru pertama kalinya kutemui di hidupku. Tatapannya begitu dingin dan sikapnya tidak pedulian. Sepekan mengikutinya, yang kudapatkan hanyalah penolakan dan pengacuhannya.

Aku hampir stres memikirkan, bagaimana awalnya kakakku bisa dekat dengan si Poker jika dia se-anti sosial ini? Atau memang dia hanya ingin berinteraksi dengan wanita cantik? Persetanlah.

Hari minggu ini, aku diberi izin untuk tidak bekerja oleh Tuan Kang. Sedangkan kerja part-time yang sempat kuambil sudah kutinggalkan juga. Pasalnya, biaya pengobatan nenekku yang mulai membaik setelah operasi kini ditanggung sepenuhnya oleh Namjoon. Jadi, apa aku harus bersyukur sekarang?

Tidaklah. Apa yang harus kusyukuri dari duduk di pinggir lapangan basket kotor yang sepertinya sudah lama tidak dipakai ini. Kedua netraku terarah pada pemandangan bola yang melambung akurat menuju ring. Sungguh ajaib, pria dengan tampang tidak menjanjikan itu ternyata punya tangan yang berbakat. Dia bisa memainkan piano, memetik gitar, dan juga sekarang dia bermain basket dengan mahir. Informasi tidak penting inilah yang kudapat selama mengekorinya.

Si Poker sendiri sepertinya sudah lelah mengusirku, itu sebabnya dia membiarkan aku begitu saja.

Netraku mengikuti gerakan lincah si kucing got. Surai hitamnya tampak lepek karena keringat. Apa dia tidak lelah? Aku saja yang duduk di sini, lelah melihatnya berlari ke sana-kemari menggiring bola basket di tengah cuaca segerah ini.

Bruk!

"Aw!"

Aku dengan refleks menutupi hidungku saat tiba-tiba saja bola oranye itu tepantul dan menabrak hidungku. Rasanya luar biasa sakit, bahkan mataku dibuat berair. Lantas kepalaku terangkat untuk melihat sang pelaku yang berlari ke arahku lalu berjongkok untuk melihat wajahku.

"Kau sengaja, ya?" tudingku.

Ia tak menjawab, wajah robotnya tak berubah sama sekali. Membuat aku rasanya ingin menjambaknya sekarang juga. Tangan kurusnya merogoh saku celana jeans yang ia kenakan, mengeluarkan sapu tangan dan menyodorkan padaku.

"Hidungmu berdarah."

Kuterima sapu tangan itu dengan dongkol kemudian kugunakan untuk menyumbat darah dari hidungku. "Ma ... af. Katakan itu jika kau melakukan kesalahan. Sudah dewasa masih harus diingatkan."

Lagi-lagi tak ada respon berarti dari si Poker seoalah aku hanyalah suara kaset rusak. Bahkan wajahnya yang dihiasi keringat tak berikan guratan bersalah saat ia ikut duduk di lapangan. Juga, apa-apaan tatapan datar itu. Dia malah dengan enteng meraih botol mineral di sampingku, lalu meneguk isinya hampir setengah.

"Kau ini benar-benar ingin belajar piano denganku?"

Aku mengangguk antusias dengan mata yang mengilat. "Iya!" jawabku.

"Kenapa kau sangat bersikeras? Banyak orang yang pandai bermain piano, tapi kenapa harus aku?"

Oh tidak, aku terjebak. Pikirannya cukup logis, hanya manusia gila yang mengejar dan ingin menjadi murid dari pria tanpa empati sepertinya. Namun, tak perlu khawatir. Aku tahu ada sesuatu paling tidak logis yang dinormalisasi manusia sekarang.

POUR Y √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang