POUR Y: 26

80 16 26
                                    

Ternyata beginilah rasanya jatuh cinta. Sungguh suatu hal yang lucu. Jika mengingat bagaimana dulu aku menilai orang-orang yang menangisi cinta, dilukai cinta, tetapi tetap bergantung pada cinta. Ini bukan keinginan mereka. Perasaan ini bukan suatu hal yang bisa dikendalikan dengan mudah. Sama halnya dengan aku yang kewalahan menangani perasaan ini.

Aku bahkan belum tahu apa yang akan terjadi padaku jika akhir antara aku dan si Poker benar-benar sebuah perpisahan. Mungkin aku akan mencoba menerimanya jika kami berpisah dengan cara yang baik. Namun, bagaimana jika tidak? Ke mana dia akan menemukan teman lagi? Atau dia akan menemukan wanita yang lebih pantas untuknya?

Apapun itu, aku hanya ingin Yoongi peroleh bahagia. Maka kupinta pada langit jingga sore itu, di mana menjadi saksi saat aku berdiri menatap punggung rapuh pria Min di teras belakang rumahnya. Hatinya mungkin masih belum pulih sepenuhnya. Aku akan menemaninya di sini, menyambut malam yang kelam. Meski dalam keadaan merajut nyali mendekat ke arahnya.

Tungkaiku akhirnya memilih kikis jarak. Berjalan amat pelan mendekat, barangkali ada sesuatu yang bisa kami bicarakan malam ini. Pasalnya, aku mungkin tidak akan punya kesempatan memandang langit bersamanya mulai besok. MPV memutuskan bahwa Min Yoongi harus ditahan.

Semakin dekat, presensi itu malah terasa semakin menjauh. Membuat kini jemariku saling meremas cemas, pun linangan air mata menumpuk di pelupuk. Sebentar lagi aku akan melepaskannya, seperti aku melepaskan satu helaan napas ke udara malam ini. Melepaskan Yoongiku.

"Duduklah."

Tubuhku terhuyuh seolah angin bisa merobohkan keseimbanganku akibat suara yang amat lemah itu. Dengan gerakan spontan, aku menunduk menghindari kontak berlebihan dengan pria yang kini mendongak menatapku sembari menepuk kursi di sampingnya.

Setiap langkah yang kuambil seakan menjadi tusukan pada dada. Sepertinya aku belum siap untuk menyatakan semua yang kusembunyikan erat-erat. Sebutlah aku egois karena memilih menipunya hingga detik ini. Aku hanya tidak ingin dia mengecap kekecewaan lagi setelah semua pahit yang ia telan dalam hidupnya.

Kala tubuhku sudah terduduk di sampingnya, pria itu sudah alihkan netra menatap lurus ke depan pada lautan cahaya yang tercipta dari bangunan tinggi.
Bukankah ironi, dulu aku selalu memaki jika harus menghabiskan waktu bersama si Poker. Namun, sekarang aku berharap waktu melambat.

"Kita benar-benar sudah berteman sekarang?"

Itu aku yang lontarkan pertanyaan setelah menimbang-nimbang solusi. Waktu ini harus kugunakan dengan baik.

Tidak tahu, aku menolak mencari tahu isi pikiran si Poker saat ia malah terkekeh kecil sebagai tanggapan. Jelasnya, aku tahu itu bukan berasal dari hatinya. Kesedihan masih terpancar dari netranya kala ia menoleh padaku sembari balik lempar tanya.

"Kau mau jadi teman baikku?"

Aku menggeleng pelan. "Tidak sebelum kau menceritakan semuanya padaku."

Aku tidak mengerti mengapa dia mencoba terlalu keras untuk terlihat kuat. Harusnya senyum itu tidak terpatri di wajahnya. Harusnya ia berteriak dan menyalahkan takdirnya. Manusia sesekali harus muak agar mereka bisa menemukan jalan lain yang lebih baik. Itulah yang ingin kuajarkan pada Yoongi.

Maka meski masih dengan sisa keraguan, aku menuntun tanganku untuk menyentuh jemari dingin si Poker. Menautkan jemari kurusnya yang hampir seukuran dengan jemariku. Tangan kami sama-sama kasar. Aku sedikit malu karena pekerjaanku membuat aku tidak memiliki fisik ideal seperti standar wanita cantik.

"Suga," panggilku. "Aku temanmu."

"Tidak ada yang bisa kuceritakan lagi."

Jemarinya melakukan perlawanan kemudian. Namun, aku tetap pada pendirianku. Aku tidak akan membiarkan dia menanggung beban ini sendirian. Jemarinya pun kugenggam semakin erat selagi menajamkan netraku saat bertemu dengan sekembar netra obsidiannya. Mencoba menarik sisa-sisa rahasian yang masih dia sembunyikan dalam kegelapan itu.

POUR Y √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang