( SPECIAL PART ) : From Y

102 12 20
                                    

From Y

Menapaki jalan yang becek dan sangat lembap selepas guyuran hujan lebat beberapa saat lalu, siulanku mengudara di antara keramaian jalan Seoul. Seperti dulu, kota ini memang selalu sibuk dan padat. Cukup tidak nyaman bagi diriku yang sudah berbulan-bulan mengasingkan diri di kota kecil dan tidak banyak berinteraksi dengan siapapun.

Kali ini aku harus menerobos riuh itu. Hal yang selalu kubenci. Bahkan sekarang aku memang harus semakin menyembunyikan diriku, mengandalkan pakaian tertutup mencoba untuk tidak mencolok.

Aku mungkin bukan siapa-siapa lagi sekarang. Orang-orang sibuk itu tidak punya waktu untuk mengingat hal-ha buruk dunia yang mereka kejar. Namun, tetap saja wajah yang dihiasi luka goresan mencolok di pipi hingga alis ini akan sangat menarik perhatian beberapa orang.

Kedua mataku bergulir tajam, pada seseorang yang sepertinya menatap penasaran ke arahku. Sorot matanya sungguh menyebalkan hingga aku rasanya ingin memberinya sedikit pelajaran tentang kurang ajarnya tatapan itu. Sayang, aku harus menghindari keributan sekarang atau aku hanya akan berakhir tragis lagi.

Lantas aku hanya mengangkat kuplut jaketku, lalu pacuh langkah pergi dari sana segera.

Setelah perjalanan panjang dari Daegu langsung menuju tempat ini, aku akhirnya bisa bernapas lega. Hanya tempat ini yang seolah menyambutku. Tempat yang sepertinya sudah ditelantarkan ini sepi dan sudah rapuh. Tempat yang menampung banyak kenangan yang sebenarnya sangat menjengkelkan untuk diingat lagi.

Seorang wanita berhasil menipuku di studio musik kumuh itu. Akan tetapi, aku tidak pernah menyesali kebodohanku waktu itu. Jika diberi kesempatan untuk mengulan waktu, aku akan datang lagi ke studio itu meski tahu apa akhirnya.

Justru dialah salah satu alasan aku kembali menginjak kota ini, menanggung resiko yang akan sangat fatal jika aku tidak berhati-hati. Berbekal informasi tidak tentu akurat dari orang yang mengaku pernah melihat wanita itu di suatu tempat, aku nekat.

Nekat membawanya padaku, maka nekatku akan membawaku padanya.

Lantas mataku bergulir ke arah papan di atas teras studio. Beberapa huruf yang dulu membentuk nama Black Swan Studio telah hilang menambah menyedihkannya penampilan studio itu. Kurasa kami hampir sama. Kami sudah rusak. Bahkan satu mataku sudah tidak berfungsi dengan semestinya setelah kejadian itu. Aku tidak buta, tetapi netra sialan ini sering kali berkabut.

Sial. Kepalaku segera menoleh sesaat tubuhku terhuyuh akibat dorongan dari belakang. Di sana kulihat seorang pemuda dan gadis berpakaian sekolah menengah atas. Aku tidak tahu apa yang membuatnya terburu-buru hingga tidak gunakan matanya yang masih sehat untuk melihat manusia sebesar diriku. Bahkan wajahnya tidak perlihatkan ekspresi bersalah setelah menyenggol bahu cederahku hingga terasa ngilu lagi.

Dia sangat beruntung karena aku tidak punya banyak waktu. Maka tanpa mengucapkan apa-apa, aku membalikan tubuh dan melenggang pergi dari sana. Aku harus mengurangi interaksi dengan orang-orang agar bisa bertemu dengan wanita itu.

Wanita yang sangat suka berjalan-jalan di malam hari di antara orang-orang sibuk.

Ia bukan tipeku, tapi aku mencintainya.

--oOo--

"Aku punya alasan melakukannya."

"Aku akan melaporkanmu!"

"Adikmu mungkin akan melakukannya lebih dulu. Dia juga melihatku."

"Apa? Sial! Jangan menyentuh Bora, Suga!"

"Aku hanya akan memastikan dia tidak membahayakanku. Maka mari kita buat kesepakatan demi adik kesayanganmu."

"Pria gila!"

"Maafkan aku, Yunjin. Namun, kau tidak perlu melaporkanku. Tidak lama lagi aku akan menghilang dari kehidupanmu dan kau tidak perlu khawatir aku melakukan hal yang jahat lainnya."

"Tapi ...."

"Terima kasih, Yunjin."

Senyum getir tercipta setelah sambungan telepon terputus. Tubuhku tertekuk untuk menunduk sedalam-dalam seperti aku yang telah tenggelam dalam dendam. Bahkan tanganku masih berbau anyir akibat darah lelaki sialan yang tubuhnya mungkin sudah dikerumuni lalat menjijikan—sama dengan dirinya yang menjijikan. Meski aku sudah menggunaka sarung tangan.

Tawa akhirnya keluar dari bibirku layaknya manusia kehilangan akal. Tubuhku terlempar ke belakang. Terbaring pada kasur sembari terpejam. Naasnya kejadian itulah yang tiba-tiba terbayang dalam kepalaku. Di mana seorang anak pengecut telah selesai menusuk pria tua dengan menggunakan belati. Uluh hati, perut, dan lehernya kuhancurkan. Ya, aku yang bahkan tidak pernah berani menodongkan pisau pada orang lain, telah membunuh dua orang dalam waktu yang berbeda.

"Eomma, apa sekarang kau puas? Atau aku harus membunuh satu orang lagi? Namun ... aku sepertinya tidak bisa lagi. Sudah ada yang melihatku. Atau aku juga harus membunuh dua wanita itu?"

Tidak. Meski ingin, aku tidak akan bisa. Jika itu terjadi, aku benar-benar akan menjadi gagak hitam yang jahat.

Mungkin aku tidak perlu melakukan apa-apa. Sebelum mereka membuka mulut, aku akan menyusul ibuku lebih dahulu. Tidak ada gunanya menuntut orang mati 'bukan?

Begitulah jalan pikirku dahulu. Sungguh picik dan naif. Menganggap kematian adalah pelarian paling tepat agar tidak diadili. Namun, nyatanya aku hanyalah pecundang besar. Hari di mana harusnya aku mati terlalap api setelah membakar penjara, aku malah goyah di tengah-tengah. Aku takut menghadapi Tuhan setelah aku mati. Aku juga takut meninggalkan duka serta trauma mendalam di hati Jungkook dan wanita itu sebagaimana yang kurasakan saat kehilangan ibuku.

Maka inilah alasan aku berdiri di depan pintu ini. Di depan kediaman seseorang yang mendapatkan kredit untuk tulisan yang dimuat di koran. Tentang kasus ibuku yang diselesaikan oleh Bora. Aku ingin meminta bantuannya untuk mencari wanita itu dan mengungkapkan banyak hal.

Termasuk terima kasihku karena telah mengadili pria bejat yang belum sempat kuberi pelajaran. Aku juga ingin meminta maaf atas segala kesulitan yang ia rasakan karenaku. Serta memberitahunya bahwa aku tidak pernah berhenti mencintainya, aku hanya dibutakan oleh temperamen yang tidak stabil.

Selama kabur dari tanggung jawabku atas kematian para tahanan di penjara yang kubakar, aku telah belajar menyembuhkan diriku. Mungkin aku beruntung karena polisi mengumumkan kematianku saat insiden kebakaran meski sebenarnya aku kabur melewati sungai di belakang penjara. Mereka membohongi publik agar tindakan mereka terkendali. Sementara aku harus mengganti identitas untuk melanjutkan hidup di Daegu.

Aku amat merasa bersalah pada mereka. 

"Ada yang bisa saya bantu?"

Sial! Aku menghayal terlalu lama. Kini wanita pemilik rumah telah keluar. Melempar tatap menilai pada diriku yang mungkin sangat mencurigakan.

Inilah langkah pertama. Giliranku sudah tiba, untuk mencintai dan memperjuangkan Im Bora.

P O U R    Y

SPECIAL PART







POUR Y √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang