"Kau ... Jungkook?"
Sekali lagi, aku mengakui betapa rentannya mentalku. Seharusnya aku memang mengundurkan diri dari pekerjaan penyidik. Lantaran saat ini, aku malah menangis, mengasihani hidup seorang penjahat yang bertemu dengan adik kandungnya setelah bertahun-tahun lamanya.
Selama ini, aku hidup dan tumbuh bersama Yunjin. Di tengah keluarga yang amat tidak harmonis, aku bertahan demi Yunjin. Namun, bagaimana dengan si Poker? Kehidupan yang amat pahit itu ia terjang sendiri. Lalu, masih pantaskah orang-orang mempertanyakan alasan aku malah jatuhkan hati pada pria itu di antara ratusan juta manusia di bumi?
Langit bahkan ikut bersedih sekarang. Di mana teriknya yang semula membakar telah tertutup awan mendung seolah menjelaskan bahwa Min Yoongi benar-benar bersedih. Bahwa si Poker bukan pria bajingan yang akan berteriak egois dan menolak Jungkook ataupun menyalahkan adiknya itu atas segala yang terjadi. Semua reaksinya tadi hanya wujud ketidakpercayaannya pada takdir yang akhirnya mempertemukan mereka.
Buktinya, kini pria berwajah malas itu telah mendekap sang adik dengan amat erat seakan membiarkan pelukan itu sembuhkan segala rindu dan laranya. Surai sang muda ia usap amat lembut seolah mengatakan bahwa ia akan melindungi Jungkook dari dinginnya hidup.
Aku tak lagi menyeka air mataku. Kubiarkan dia menetes sesukanya. Lantaran aku tahu, sekuat apapun aku menolak, haru dalam hati akan tetap membuat hatiku hancur.
Min Yoongi, pria itu benar-benar sialan! Dia kembali membuatku jatuh cinta padanya.
Dia bukan manusia berhati batu sebagaimana pribadi yang selalu ia perlihatkan. Ia hanya seorang kakak yang menangis di pelukan sang adik. Yoongi adalah manusia malang yang harus bermandikan lumpur hingga dicap kotor oleh orang-orang yang enggan melihat dirinya di dalam lumpur itu.
"Bagaimana kabarmu? Mengapa kau duduk di kursi roda? Kakimu kenapa, Kookie? Maafkan aku," ucapnya di sela dekapan pada sang adik. Diusapnya punggung Jungkook sebelum ia lepaskan rengkuhannya. Hingga wajah basah mereka telah saling berhadapan."Maafkan Hyung karena tak berani menemuimu."
"Aku sudah menunggumu lama di rumah sakit, Hyung. Aku sudah berjanji tak akan pulang sebelum bertemu denganmu dan sekarang kita bertemu."
Aku meremas ujung bajuku menahan niatku menyentuh wajah si Poker untuk meyakinkan bahwa ia boleh menangis kapanpun ia mau. Bahwa ia tidak perlu terus berlagak kuat jika hatinya telah terluka parah. Juga bahwa jika ia butuh rumah, aku siap menjadi rumah hangat yang sudah hilang dari hidupnya.
Namun, apa yang kulihat justru kepalanya yang tertunduk mencoba bersembunyi. Pundaknya yang bergetar menegaskan bahwa ia mencoba tenang.
"Ibu Taeri Noona menceritakan semuanya padaku, Hyung. Tentang siapa aku dan alasan ibu meninggal. Akulah alasannya."
Kepala si Poker mendongak segera. Wajah basahnya diusap kasar sebelum ia berucap,"Jangan mengatakan itu, Kookie. Ayo kita pulang."
--oOo--
Ceklek!
Tungkaiku yang baru mengambil satu langkah masuk ke dalam kamar, tiba-tiba terhenti. Penghuni kamar menatap ke arahku yang masuk tanpa permisi. Karena merasa tidak enak, maka kakiku kembali mundur selagi aku berkata, "Apa aku menganggu? Maaf, aku akan menunggu di luar."
"Masuklah, Noona," sahut sang pemilik kamar.
Permintaan itu tak serta-merta kuturuti, lantaran ada satu sosok lagi yang membuatku segan di ruangan itu. Sosok yang duduk di pinggir ranjang di mana Jungkook sedang melahap makanan yang sempat kumasak sebelum aku berangkat mengantar Aerin kembali ke rumah sakit, sekaligus mengurus pemulangan si pemuda.
KAMU SEDANG MEMBACA
POUR Y √
FanfictionMereka memanggilnya sebagai pendosa. Namun, bagiku ia hanyalah orang yang kutemui di sudut studio piano sendirian. Si manusia malang yang mencoba membunuh rasa kesepian yang mencekiknya hingga akhir. Pour Y : Untuk Y Started : August 28, 2020 Finis...