POUR Y: 15

94 16 10
                                    

Senyum, katanya adalah wujud dari emosi senang ataupun bahagia. Namun, aku belajar beberapa hal demi pekerjaan ini. Bahkan beberapa orang tersenyum bukan dari hati, tetapi hanya keharusan. Lantas bukankah bahagia hanyalah kepalsuan jika begitu adanya? Sebenarnya apa definisi bahagia itu? Kurasa aku sudah terlalu tua untuk mempertanyakan itu. Juga sudah terlalu tua untuk merasa cemburu pada kebahagiaan yang selalu mengikuti Yunjin.

Di balik celah pintu yang tidak tertutup rapat ini, aku berdiri dengan perasaan iri. Rasanya benar-benar menyebalkan saat melihat dua entitas di sana, saling melempar senyum sayang layaknya hubungan seorang nenek dan cucu. Akan tetapi, mengapa saat kuperlihatkan wajahku tadi, wanita tua itu malah menatapiku dengan sinis.

Kamu punya kenalan polisi 'kan? Lalu kenapa membiarkan kakakmu menginap di penjara selama sepekan?

Hatiku rasanya hancur berserakan tatkala pertanyaan itu kudengar. Inikah bayaran dari frustasi yang kurasakan setiap hari karena khawatir pada nasib keluargaku yang amat malang? Aku bahkan rela memohon pada Namjoon untuk mendamaikan Yunjin dan keluarga korban kecelakaannya. Meski permintaan itu terkabul, kakak tetap harus mengikuti prosedur yakni ditahan selama perkara belum berakhir.

Harusnya aku mengerti bahwa wanita tua itu tidak akan mengerti prosedur karena dia hanya orang awam. Namun, tetap saja rasanya menyakitkan saat dicecar dengan pertanyaan menyinggung itu.

Sudah letih menahan kecemburuan yang meradang ini, kini kuseret tungkaiku menyusuri lorong rumah sakit. Gitar yang sudah lama tidak kusentuh, kubawa hari ini untuk sekedar menghilangkan suntuk saat menunggu jam besuk, tetapi ternyata hanya akan jadi pelipur lara sekarang. Pasalnya, mendadak aku merasakan kerinduan lagi terhadap rumah. Lebih tepatnya orang-orang yang membangun suasana rumah. Ayah, ibu, dan kakakku di masa lalu. Ingin menangis pun rasanya sudah terlambat, orang-orang hanya akan menertawaiku.

Mungkinkah rasa yang kurasakan ini juga dirasakan oleh si Poker? Kurasa kami punya beberapa kesamaan.

Langkahku terhenti tatkala menginjak rerumputan halus di taman belakang rumah sakit. Menyusuri semua yang ada di taman itu dengan netraku yang sudah terasa panas.

Berbagai wajah tampak ada di sana, para pasien baik muda maupun tua yang mungkin tengah menghibur dirinya dari kebosanan di banguanan ini-atau mungkin hanya duduk menikmati angin sebelum mereka dikalahkan oleh penyakit.

Aku mengangkat gitar milikku. Mengambil satu langkah maju sebelum akhirnya memetik senar itu satu per satu, menciptakan alunan nada yang ternyata menarik perhatian sebagai orang di sana.

Satu senyum kuulas tipis. "Maaf, ya, mengganggu. Jika tak keberatan, aku hanya ingin memainkan satu lagu."

Jemariku pun mulai kembali memainkan sinar gitar. Meski ragu, kulepaskan semua beban di pundak, tersenyum selebar mungkin meski rasanya hati sudah terkoyak habis. Ternyata benar, senyum itu hanyalah kepalsuan.

Napasku tercekal di tengah petikan gitar, dengan senyum yang tak sanggup kupertahankan lagi. Air mata meluruh begitu saja, membuat orang-orang yang berkumpul di hadapanku kini ikut terlihat pilu. Dengan isakan yang sialan sudah kutahan beberapa kali, tapi tetap saja terdengar, aku menyekah air mata.

Kembali memaksakan senyum ke arah orang-orang. "Terima kasih atas waktunya," ucapku sembari membungkuk memberi hormat.

Sejenak kutatap beberapa wajah di sana. Beberapa terlihat lelah, mungkin hampir menyerah dengan kemalangannya. Namun, ada juga yang mengulas senyum seolah tidak sabar menyambut hari kesembuhan. Jelasnya, ada satu sosok yang menarik perhatianku. Seorang remaja laki-laki dengan topi putih yang duduk di kursi roda di belakang sana menatapku dengan penasaran. Bahkan mungkin saja lebih dari itu. Dia juga terlihat amat asing.

POUR Y √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang