POUR Y: 0.9

150 23 19
                                    

Manusia itu maha penuntut dan penuh dengan penyesalan. Sama dengan presensi yang kini menatap kosong pada sudut studio dan biarkan dirinya ditelan habis oleh laju lamunannya. Benar, orang itu adalah aku sendiri. Wanita bodoh yang terus ungkapkan penyesalan tentang keharusan yang sudah terlanjur terjadi.

Harusnya aku tidak melakukan kesalahan saat pengejaran di kasus terakhirku. Harusnya aku tidak pulang larut malam hari itu. Serta banyak keharusan lainnya yang sayangnya tidak bisa lagi kuubah.

Semenjak hari itu, tidurku tidak lagi nyenyak karena dihantui rasa takut dan rasa bersalah. Setiap kali aku menutup mata, ingatan tentang mata pria sialan itu terasa mencekikku.

Aku menghela napas pelan. Menutupi wajahku dengan kedua telapak tangan dengan gusar. Entahlah, rasanya sulit untuk kupercayai bahwa kenyataan benar-benar mendukung dugaanku selama ini. Dugaan yang tak kuinginkan benar. Namun, semuanya sudah terjawab. Semua bukti menyatakan dia yang menjadi dalang di balik kekacauan ini.

Pertemuanku dengan Ketua Kim kemarin benar-benar membongkar kebenaran, meski kebenaran itu masih kusimpan rapat-rapat. Entah sampai kapan.

Satu hal yang ingin aku ketahui, mengapa dia melakukan semua ini?

"Permisi, apa studio sudah dibuka?"

Kepalaku mendongak dengan refleks, menemukan presensi seorang wanita yang menatapku heran. Aku buru-buru beranjak dari dudukku, membungkuk hormat sejenak kemudian tersenyum seramah mungkin.

"Ah, belum."

Wanita itu mengernyit heran. Ia menunduk untuk melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya sejenak kemudian kembali menatapku. "Sudah jam 8:35 bahkan di depan sudah ada tulisan Buka."

Mampus, aku ikut melirik jam dinding. Benar, sudah waktunya studio buka. Lamunan tadi membuat fokusku terpecah. Lantas aku membungkuk lagi pada wanita itu, tersenyum kikuk dengan menyuarakan maaf beberapa kali. Meski pun terlihat sedikit kesal, wanita itu beranjak dari hadapanku menuju ruang biola selepas aku mencatat namanya dan kuberikan tiket.

Jika terus begini, aku bisa mendapat teguran dari bosku. Tidak bisa, aku tak boleh terus membiarkan masalah itu berlarut-larut dalam kepala. Lagi pula, aku tak ada kaitannya dengan mereka. Apa peduliku tentang si Min Suga maupun ayah Taeri? Jika benar Min Suga pembunuhnya, satu-satunya yang perlu aku usahakan adalah menjauhkan kakakku dari pria keji itu. Selepas itu, aku akan hidup normal. Bekerja sepanjang waktu dan mendapat perhatian dari nenek.

Persetan dengan MPV dan ancaman Namjoon kemarin. Aku bukan orang buta hukum yang bisa diancam dengan tuduhan yang bahkan tidak aku lakukan. Jika dia memang menyampaikan kesaksian Yunjin pada polisi pusat, aku akan dengan senang hati membela diriku sendiri.

"Huftt ... semangat, Bora-ya!" teriakku kencang sembari menepuk-nepuk lenganku sendiri.Tak peduli jika wanita tadi mendengarnya dan mengira aku adalah orang gila. Karena itu adalah cara untuk membangunkan semangatku.

--oOo--

Angin sore yang berembus lembut hari itu coba kunikmati seperti dulu. Langit cerah di atas sana seakan menjadi gambaran dari letupan senang yang memancar dari wajahku yang tak pernah melunturkan senyum lebar. Berjalan menyusuri lorong lembab menuju rumah, aku bahkan bersenandung kecil. Memeluk sebuah kotak berukuran sedang yang ingin kuhadiahi untuk nenek. Sebuah tanaman bonsai-ya-aku membelikan nenekku selepas pulang kerja karena ia sangat menyukai jenis tanaman hias tersebut.

Aku yakin, dia pasti menyukainya. Sudah kuputuskan untuk memperbaiki hubungan kami.

Langkah semakin kupacu, melewati deretan pohon pinus yang menciptakan wangi khas yang memanjakan indera penciuman. Satu hal yang selalu menjadi kesukaanku.

POUR Y √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang