POUR Y: 18

83 16 11
                                    

Dulu, kusebut hidup ini monoton. Aku bekerja setiap hari, pulang dengan keadaan lelah, lalu terlelap dan berulang seterusnya. Sekarang, Tuhan memutarbalikan keadaan. Aku ingin mengeluh akan hal itu, tetapi bukankah itu sama saja aku tidak tahu diri? Kurasa aku harus berhenti menyalahkan Tuhan.

Penyebab dari semua masalah dan kejutan yang terjadi di hidupku adalah pria itu. Sosok yang tidak kusangkah akan terlibat sedekat ini denganku, buat kepalaku pening, dan darahku berdesir setiap kali mengingat namanya saja. Dia berhasil memporak-porandakan ketenangan hidupku.

Lantas kubiarkan kedua kelopak mata terkatup cukup lama dengan kepala yang mendongak ke atas. Teratur, embusan napas berbondong-bondong keluar dari belah bibirku seakan ikut mengembuskan kekesalan yang menumpuk di pikiranku ke udara yang cukup dingin.

Sudah seminggu ini, aku berada di rumah—lebih tepatnya dirumahkan. Mengerjakan hal-hal yang lama tak kukerjakan untuk mengikis kebosanan, seperti bermain gitar. Selama sepekan ini, aku bermalas-malasan di rumah sendirian. Luka di tanganku dijadikan alasan oleh Ketua Kim, tetapi kurasa dia hanya memberiku hukuman karena telah mengabaikan instruksi tim di tempo hari.

Selama masa istirahat ini, benar-benar kugunakan untuk mengasingkan diri. Nenek masih di rumah sakit, Yunjin sendiri masih wara-wiri mengurus nenek dan pekerjaannya. Lalu, si Poker? Entahlah, aku tidak mendengar kabarnya lagi. Meski berusaha menggali informasinya sendiri dari jejak internet, aku tidak menemukam apa-apa.

Di depan jendela besar yang menghadap langsung pada hamparan hutan pinus yang tersusun rapi, jemariku memainkan nada dari senar gitar. Memecah sepi yang perlahan mencekik.

"Bora-ya."

Kudengar suara yang diiringi derap langkah itu berangsur mendekat padaku. Lantas permainan jemariku berhenti sejenak, menoleh pada presensi dengan balutan gaun rumahan itu. "Taeri dan Namjoon ada di luar."

"Oke, aku temui dia dulu," jawabku sembari meletakkan gitar milikku, bersadar di kursi kayu yang kududuki beberapa saat lalu.

"Bora-ya." Tak terlalu jauh melangkah, mungkin hanya beberapa sentimeter saja jauhnya dari posisi dudukku tadi, aku menoleh kedua kalinya pada Yunjin. "Bagaimana perkembangan kasus Suga?" Itu dia yang bertanya

Kutatap pribadi Yunjin dengan cermat. Posisinya yang membelakangi jendela membuat cahaya terhalang, hingga wajahnya tampak samar. Tak dapat kulihat bagaimana ekspresi di sana. Namun, aku tahu dari suaranya yang ragu, dia khawatir pada sesuatu.

Mungkinkah Yunjin masih peduli pada si Poker? Bisa saja, mereka dulu sepasang kekasih, sudah sewajarnya saling mengkhawatirkan. Hubungan mereka pun terbilang lama. Aku tahu bahwa melupakan seseorang bukan hal mudah, meski orang itu memiliki kesalahan yang besar.

Membencinya tak bisa, tetap mencintainya pun tak bisa. Sama seperti aku yang tak bisa menghapus Im Bara dari lipatan memoriku. Tidak apa, selama ini Yunjin pun sama menderitanya denganku. Aku tak pernah berpikir untuk menganggapnya lebih beruntung kecuali menyangkut kasih sayang nenek. Ia juga kehilangan Ayah dan Ibu sepertiku—karenaku dan aku jugalah yang sekarang membuat hubungannya dengan mantan kekasihnya semakin buruk.

Aku tahu tak mudah baginya melihat aku dekat dengan si Poker selama misi ini. Yunjin tidak pernah berkencan dengan pria yang tidak benar-benar ia cintai. Namun, ia tak pernah memperlihatkan itu, dia mendukung setiap langkahku.

Jujur, aku merasa amat bersalah. Terlebih lagi mengapa kini aku juga merasa tak nyaman menerima kenyataan tentang latar belakang hubungan mereka?

"Tenang saja, sebentar lagi ia akan ditangkap. Kau berharap begitukan, Eonni?"

Tak ada jawaban yang keluar dari belah bibir dipoles dengan lipstick merah muda itu. Meski begitu, aku sudah tahu jawaban dari pertanyaan ironiku. Karena lebih tepatnya itu hanya untuk mengetes reaksinya.

POUR Y √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang